Friday, 18 November 2016

Hukum, Niat dan Tata Cara Tayammum

Hukum-Hukum Seputar Tayammum

Definisi Tayammum:
Tayammum adalah keinginan/kehendak untuk mengusap wajah dan kedua tangan dalam bentuk yang khusus dengan niat pembolehan –mengerjakan- shalat dan semisalnya. Ibnu as-Sukait mengatakan, “Firman Allah ta’ala, “Dan kalian tidak mendapatkan air, maka tayammum-lah kalian dengan tanah yang baik.” Yaitu menghendaki –pemakaian- tanah. Lalu pemakaian mereka telah meluas hingga kata tayammum diinterpretasikan sebagai mengusap wajah dan kedua tangan dengan tanah.” Demikian yang dikutip oleh al-Hafizh di dalam Fathul Bari.

Dalil-Dalil disyariatkannya Tayammum:
Adapun dalil pensyariatan tayammum didalam al-Qur`an, firman Allah Ta’ala, “Dan jikalau kalian dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan atau seseorang diantara kalian baru saja buang hajat atau menggauli wanita, kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka kalian lakukanlah tayammum dengan tanah yang baik. Usaplah wajah kalian dan tangan kalian dari tanah tersebut.” (QS. Al-Maidah: 6)
Dari sunnah adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 347) dan Muslim (1/280) dari Ammar bin Yasir, beliau mengatakan, “Rasulullah mengutusku untuk suatu keperluan. Lalu saya junub dan tidak mendapatkan air. Maka saya berguling-guling sebagaimana tunggangan berguling, kemudian saya menjumpai Nabi dan menceritakan kepada beliau hal itu. Beliau bersabda, “Cukuplah engkau melakukan dengan kedua tanganmu seperti ini.” Lalu beliau memukulkan kedua tangan beliau ke tanah dengan sekali tepukan kemudian membasuhkan tangan kiri ke tangan kanan dan dan kedua punggung tangan beliau dan wajah beliau.”
Demikian pula, umat Islam telah sepakat bahwa tayammum disyariatkan hanya pada wajah dan kedua telapak tangan bagi seseorang yang berhadats, baik hadats besar maupun kecil. Baik tayammum tersebut mewakili seluruh anggota thaharahnya ataukah sebagiannya saja.

Siapakah yang diperbolehkan melakukan Tayammum?
1. Seorang yang junub lagi musafir dan tidak mendapatkan air.
Hal ini berdasarkan keumuman ayat tayammum dan juga ditunjukkan oleh hadits Ammar bin Yasir yang baru saja berlalu.
2. Bagi seorang junub apabila khawatir udara dingin.
Berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala diatas. Dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan selainnya dari hadits Amru bin al-‘Ash, bahwa ketika beliau diutus pada perang Dzaat as-Salaasil, beliau berkata, “Hingga saya ihtilam (mimpi basah) pada malam yang sangat dingin. Dan saya khawatir jikalau saya mandi maka saya akan mati. Maka saya pun -hanya- bertayammum kemudian mengimami para sahabatku pada shalat subuh. Dan ketika kami tiba kembali menemui Rasulullah, mereka menceritakan hal itu kepada beliau. Dan beliau bersabda, “Wahai Amru, engkau telah mengerjakan shalat mengimami sahabatmu sementara engkau dalam keadaan junub?”Saya berkata, “Saya teringat dengan firman Allah Ta,ala, “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri. Sesungguhnya Allah sangatlah penyayang bagi kalian.” Maka saya melakukan tayammum kemudian mengerjakan shalat. Rasulullah kemudian tertawa dan tidak mengatakan sesuatu.
(HR. Ahmad didalam al-Musnad 4/203, Abu Dawud no. 334-335, al-Hakim 1/177)
Hadits ini dijadikan dasar oleh Malik, ats-Tsauri, Abu Hanifah dan Ibnul-Mundzir bahwa seseorang yang melakukan tayammum karena udara yang sangat dingin, tidak diharuskan untuk mengulangi shalat. Karena Nabi tidaklah menyuruh beliau untuk mengulanginya. Seandainya wajib, niscaya beliau akan menyuruh mengulangi shalat.
Ibnu Raslaan mengatakan, “Tayammum karena takut udara dingin tidak diperbolehkan bagi seseorang yang memungkinkan untuk memanaskan air atau dapat mempergunakan air dengan cara yang tidak menimbulkan mudharat baginya semisal membasuh anggota wudhu` kemudian menutupinya. Setiap kali selesai membasuh anggota wudhu` dia lalu menutup dan menghalanginya dari udara dingin, maka hal itu –wudhu`- suatu keharusan baginya. Jika dia tidak mampu dia diperbolehkan tayammum dan mengerjakan shalat pada pendapat sebagian besar ulama.”
Dan inilah pendapat yang shahih sesuai dengan keterangan dalil diatas.
3. Seorang yang dalam keadaan sakit tidak mampu mempergunakan air.
Sakit/penyakit terbagi atas tiga bagian:
Pertama: Penyakit yang ringan dan tidak dikhawatirkan akan mendatangkan bahaya, tidak akan memperlambat kesembuhannya, tidak menambah rasa sakit atau suatu yang buruk jika orang tersebut mempergunakan air. Semisal penyakit pusing, sakit gigi dan semisalnya. Penyakit/sakit semacam ini tidak diperbolehkan tayammum baginya menurut pendapat sebagian besar ulama.
Kedua: Sakit/penyakit yang dengan penggunaan air akan dikhawatirkan mendatangkan kebinasaan pada dirinya, anggota tubuhnya, mendatangkan penyakit yang membahayakan jiwanya.
Ketiga: Penyakit/sakit yang dengan penggunaan air akan memperlambat kesembuhannya atau menambah parah sakitnya. Pada dua keadaan pada sakit/penyakit ini diperbolehkan untuk tayammum dan tidak perlu mengulangi shalat. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, Ahmad, Dawud dan sebagian besar ulama. Berdasarkan keumuman ayat tayammum di atas dan juga berdasarkan hadits Amru bin al-‘Ash sebelumnya.
Dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa beliau menafsirkan firman Allah Ta’ala di atas, “Jika kalian dalam keadaan sakit.” Beliau berkata, “Yaitu seseorang yang mendapatkan luka ketika fi sabilillah, atau borok, atau penyakit cacar air, lalu dia junub dan takut jika dia mati maka dia akan meninggal dunia, dia dapat tayammum dengan tanah yang baik.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi.
Pendapat ini adalah pendapat Mujahid, Ikrimah, Thawus, Qatadah, hammad bin Abu Sulaiman, Ibrahim, Malik, asy-Syafi’i, ashhaab ar-Ra`yi, Ahmad, Ishaq dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir, Ibnul Qayyim, ash-Shan’ani, asy-Syaukani dan asy-Syaikh Ibnul Utsaimin. Dan inilah pendapat yang shahih.
4. Musafir yang memiliki sedikit air dan khawatir kehausan dalam perjalanannya.
Jika seorang musafir khawatir kehausan dan dia membawa air yang hanya mencukupi untuk dipergunakan minum, maka musafir tersebut menyimpan airnya untuk dipergunakan minum dan dia mencukupkan dengan tayammum di setiap shalatnya.
Ibnul Mundzir mengutip bahwa ulama sepakat dalam hal ini. Dan pendapat tersebut telah diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, al-Hasan, Mujahid,Atha`, Thawus, Qatadah, adh-Dhahhak, ats-Tsauri, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan Ashhabur-Ra`yi.
5. Seorang junub lagi musafir yang tidak mendapatkan air kecuali yang hanya cukup dipergunakan untuk berwudhu`.
Adapun jikalau seseorang dalam keadaan safar/bepergian dan unub sementara dia tidak memiliki air selain kadar yang memungkinkan untuk berwudhu`, imam Ahmad berpendapat bahwa dia membasuh kemaluannya dengan air tersebut serta bagian yang terkena janabah. Selanjutnya dia melakukan tayammum dengan tanah yang baik, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala.
Pendapat ini juga merupakan pendapat Atha`, al-Hasan, az-Zuhri, Hammad, Malik dan Abdul Azis bin Abu Salamah. Dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir.

Tanah yang dipergunakan untuk Tayammum
Allah Ta’ala berfirman, “Lalu kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang baik.”
Dalam hadits Abu Dzar, Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Tanah yang baik adalah wadhu` seorang muslim walau dia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Apabila dia telah mendapatkan air maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dan mengusap kulitnya, karena hal itu lebih baik.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di dalam al-Irwa` no. 153)

Niat pada Tayammum:
Telah shahih diriwayatkan dari hadits Umar bin al-Khaththab dari Nabi, bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya tiap amalan berdasarkan pada niatnya.” Muttafaq a’laihi.

Tata Cara Tayammum:
Adapun tata cara tayammum, adalah sebagai berikut:
1. Membaca Basmalah.
Sebagaimana halnya dalam wudhu`. Dikarenakan tayammum adalah pengganti thaharah wudhu`, dan pengganti menyadur hukum yang digantikannya.
2. Menepukkan kedua telapak tangan ke tanah dengan sekali tepukan.
Berdasarkan hadits Ammar bin Yasir di atas. Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Bahwa sebagian besar atsar-atsar yang diriwayatkan dari Ammar menyebutkan sekali tepukan. Adapun atsar yang diriwayatkan dari beliau yang menyebutkan dua kali tepukan maka kesemuanya adalah mudhtharib (goncang).”
Dan hadits Abdullah bin Umar secara marfu’, “Tayammum dengan dua kali tepukan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan hingga bagian siku.” Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni, al-Hakim dan al-Baihaqi, namun hadits ini sangat lemah, pada sanadnya terdapat Ali bin Zhabyaan, dia perawi yang matruk.
Demikian juga hadits Ibnu Umar lainnya yang menyebutkan tiga kali tepukan pada tayammum adalah hadits yang sangat lemah. Wallahu a’lam.
3. Meniup kedua telapak tangan sebelum membasuhkannya ke anggota tayammum.
Berdasarkan hadits Ammar bin Yasir, dalam salah satu riwayatnya pada Shahih al-Bukhari, dimana disebutkan, “Lalu Nabi menepukkan kedua telapak tangan beliau pada tanah kemudian meniupnya, lalu mengusapkan keduanya pada wajah dan kedua telapak tangan beliau.” (Shahih al-Bukhari no. 338 dan juga no. 339)
4. Mengusap wajah dan kedua tangan hingga pergelangan.
Berdasarkan ayat tayammum dan juga berdasarkan hadits Ammar bin Yasir di atas.
Mencukupkan tayammum pada wajah dan kedua tangan hingga pergelangan merupakan pendapat Atha`, Sa’id bin al-Musayyab, an-Nakha’i, Makhul, al-Auza’i, Ahmad, Ishaq dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir dan juga sebagian besar ulama hadits.
Adapun hadits-hadits yang menyebutkan adanya mengusap tangan hingga ke bagian siku, tidak satupun hadits tersebut yang shahih. Bahkan sebagian besarnya adalah hadits-hadits yang sangat lemah. Seperti disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr didalam kitab beliau at-Tamhid dan juga asy-Syaukani didalam Nail al-Authar.
5. Tertib dalam tayammum, yaitu dimulai dengan mengusap wajah lalu kedua tangan.
Berdasarkan konteks firman Allah Ta’ala, “Basuhlah wajah dan tangan-tangan kalian.” (QS. al-Maidah: 6)
6. Dikerjakan secara beriringan (al-muwalaah)

No comments:

Post a Comment