Monday 4 February 2019

Mengenal Al-Khawarizmi, ilmuwan Muslim penemu angka nol

Pernahkah anda mendengar kata aljabar atau kata algoritma? Kalau pernah belajar matematika atau komputer, saya pastikan anda pernah mendengar kata ini. Tapi, tahukah anda siapa penemunya? Pasti ada yang menebak bahwa penemunya berasal dari ilmuwan Barat. Padahal sebenarnya ia adalah seorang ilmuwan muslim yang bernama Al-Khawarizmi. Siapakah sebenarnya Al-Khawarizmi itu ?

Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Musa al-Khawarizmi. Ia lahir di Khawarizmi, Uzbeikistan pada tahun 194 H/780 M. Ketika ia masih kecil, kedua orang tuanya pindah ke sebuah tempat di selatan kota Baghdad (kalau sekarang disebut Irak). Di dunia Barat, ia dikenal sebagai Al-Khawarizmi, Al-Cowarizmi, Al-Ahawizmi, Al-Karismi, Al-Goritmi, Al-Gorismi dan beberapa cara ejaan lainnya.

Al-Khawarizmi dikenal sebagai orang yang memperkenalkan konsep algoritma dalam matematika yang kemudian ditularkan lagi dalam komputer. Oleh sebab itulah konsep ini disebut Algorism/Algoritma yang diambil dari nama belakangnya. Algoritma umumnya digunakan untuk membuat diagram alur (flowchart) dalam ilmu komputer/informatika. Karena Ilmu Komputer dan Matematika itu seperti Anak dan Orang Tua.

Kepandaian dan kecerdasannya mengantarkannya masuk ke lingkungan Dar al-Hukama (Rumah Kebijaksanaan), sebuah lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang didirikan oleh Ma’mun Ar-Rasyid, seorang khalifah Abbasiyah yang terkenal. Ia juga bekerja dalam sebuah observatory yaitu tempat belajar matematika dan astronomi. Selain itu ia juga dipercaya untuk memimpin perpustakaan khalifah.

Selain ahli dibidang Matematika, Al-Khawarizmi juga menekuni bidang astronomi, astrologi, dan geografi. Di bawah Khalifah Ma’mun, sebuah tim astronom yang dipimpinnya berhasil menentukan ukuran dan bentuk bundaran bumi. Di bidang geografi, Al-Khawarizmi juga pernah memimpin tujuh puluh orang geografer untuk membuat peta dunia pertama pada tahun 830.

Al-Khawarizmi juga yang pertama kali memperkenalkan teori aljabar dan hisab. Seperti yang kita ketahui, nama aljabar diambil dari bukunya yang terkenal yang berjudul al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wal-Muqabalah (Ringkasan Perhitungan Aljabar dan Perbandingan). Dalam bukunya itu diuraikan pengertian-pengertian geometris.

Ia juga menyumbangkan teorema segitiga sama kaki yang tepat, perhitungan tinggi serta luas segitiga, dan luas jajaran genjang serta lingkaran. Ia mengembangkan tabel rincian trigonometri yang memuat fungsi sinus, kosinus dan kotangen serta konsep diferensiasi. Oleh karena itulah Al-Khawarizmi juga disebut sebagai Bapak Aljabar.

Al-Khawarizmi juga memperkenalkan kepada dunia ilmu pengetahuan tentang angka 0 (nol) yang dalam bahasa Arab disebut sifr. Angka nol baru dikenal dan dipergunakan orang Barat sekitar 250 tahun setelah ditemukan oleh al-Khawarizmi. Sebelumnya para ilmuwan mempergunakan abakus, semacam daftar yang menunjukkan satuan, puluhan, ratusan, ribuan, dan seterusnya, untuk menjaga agar setiap angka tidak saling tertukar dari tempat yang telah ditentukan dalam hitungan. Jangan sepelekan angka nol. Bayangkan, apa jadinya jika deret angka hanya ada sembilan angka (1,2,3,4,5,6,7,8, dan 9) saja tanpa nol? Tentu akan muncul permasalahan- permasalahan. dari mana muncul angka puluhan, ratusan, ribuan, jutaan, atau puluhan juta?

Nah, dengan adanya nol, semua permasalahan itu pun terpe cahkan. Berkat angka nol, deret hitung menjadi semakin luas dan berfungsi sebagaimana mestinya. 

Al-Khawarizmi juga menyusun buku tentang penghitungan waktu berdasarkan bayang-bayang matahari. Al-Khawarizmi meninggal pada 262 H/846 M di Baghdad. Walaupun ia sudah lama meninggal, namun ilmu yang ia hasilkan masih kita gunakan sampai saat ini.

Pribadi al-Khawarizmi

Kepribadian al-Khawarizmi telah diakui oleh orang Islam maupun dunia Barat. Ini dapat dibuktikan bahwa G.Sarton mengatakan bahwa “pencapaian-pencapaian yang tertinggi telah diperoleh oleh orang-orang Timur….” Dalam hal ini Al-Khawarizmi. Tokoh lain, Wiedmann berkata….” al-Khawarizmi mempunyai kepribadian yang teguh dan seorang yang mengabdikan hidupnya untuk dunia sains”.

Beberapa cabang ilmu dalam Matematika yang diperkenalkan oleh al-Khawarizmi seperti: geometri, aljabar, aritmatika dan lain-lain. Geometri merupakan cabang kedua dalam matematika. Isi kandungan yang diperbincangkan dalam cabang kedua ini ialah asal-usul geometri dan rujukan utamanya ialah Kitab al-Ustugusat [The Elements] hasil karya Euklid: geometri dari segi bahasa berasal daripada perkataan yunani yaitu ‘geo’ yang berarti bumi dan ‘metri’ berarti pengukuran. Dari segi ilmu, geometri adalah ilmu yang mengkaji hal yang berhubungan dengan magnitud dan sifat-sifat ruang. Geometri ini dipelajari sejak zaman Firaun [2000SM]. Kemudian Thales Miletus memperkenalkan geometri Mesir kepada Yunani sebagai satu sains dalam kurun abad ke 6 SM. Seterusnya sarjana Islam telah menyempurnakan kaidah pendidikan sains ini terutama pada abad ke 9 M.

Algebra/aljabar merupakan nadi matematika. Karya Al-Khawarizmi telah diterjemahkan oleh Gerhard of Gremano dan Robert of Chaster ke dalam bahasa Eropa pada abad ke 12 M. setelah munculnya karya yang berjudul ‘Hisab al-Jibra wa al Muqabalah yang ditulis oleh al-Khawarizmi pada tahun 820 M. Sebelum ini tak ada istilah aljabar.

Peranan dan Sumbangsih Al Khawarizmi

Sumbangsihnya dalam bentuk hasil karya diantaranya ialah :

Al-Jabr wa’l Muqabalah: beliau telah mencipta pemakaian secans dan tangens dalam penyelidikan astronomi dan trigonometri .
  • Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah : Beliau telah mengajukan contoh-contoh persoalan matematika dan mengemukakan 800 buah masalah yang sebagian besar merupakan persoalan yang dikemukakan oleh Neo. Babylian dalam bentuk dugaan yang telah dibuktikan kebenarannya oleh al-Khawarizmi.
  • Sistem Nomor : Beliau telah memperkenalkan konsep dalam sistem nomor pada zaman sekarang. Karyanya yang satu ini memuat Cosinus, Sinus dan Tangen atau SIN,COS,TAN dalam penyelesaian persamaan trigonometri, teorema segitiga sama kaki dan perhitungan luas segitiga, segi empat dan lingkaran dalam geometri.
  • Banyak lagi konsep dalam matematika yang telah diperkenalkan al-khawarizmi . Bidang astronomi juga membuat al-Khawarizmi terkenal. Astronomi dapat diartikan sebagai ilmu falaq [pengetahuan tentang bintang-bintang yang melibatkan kajian tentang kedudukan, pergerakan, dan pemikiran serta tafsiran yang berkaitan dengan bintang]

Baca Juga :

Ibnu Haitam, Bapak Optik yang Cerdas

Nama lengkapknya Abu Ali Hasan al-Haitam atau Ibnu Haitam. Ia membuat banyak penemuan di bidang fisika dan optika yang bermanfaat untuk kehidupan manusia!

Di dunia barat, ia lebih dikenal dengan sebutan Alhazen atau bapak optik. Ibnu Haitam lahir di Basra, Irak tahun 956. Ia terus giat menimba ilmu hingga menjadi ilmuwan terkenal.

Ibnu Haitam sempat menjalani profesi sebagai pegawai pemerintahan. Namun, ia tidak betah karena ingin mengembangkan pengetahuan di bidang, fisika, optik, matematika dan lainnya. Haitam pun berhenti dari pekerjaannya. Ia pergi ke Spanyol, tempat yang dikenal sebagai peradaban ilmu pengetahuan Eropa di masa itu.

Di sana,ia tertarik mempelajari optika hingga membuat namanya semakin dikenal. Penemuan Haitam di bidang optika yang terkenal adalah "hukum refraksi".

Hukum tersebut merupaan hukum fisika yang menyatakan bahwa sudut refleksi dalam pancaran cahaya sama dengan sudut masuk.

Ibnu Haitam juga berhasil menemukan sebuah Teori Penglihatan Manusia. Ia menolak teori Ptolemaeus dan Euclides yang mengatakan bahwa manusia melihat benda melalui pancaran cahaya yang keluar dari matanya.

Menurut Haitam, bukan mata yang memberikan cahaya justru benda yang terlihat itulah yang memantulkan cahaya ke mata manusia.

Ibnu Haitam juga memberikan sumbangan besar bagi dunia ilmu pengetahuan moderen. Tak hanya tentang optika tapi juga mengenai astronomi.

Pendapatnya di bidang astronomi tentang lapisan atmosfer dan perkiraanya mengenai jarak matahari dengan benda-benda angkasa lainnya dipercaya mempercepat temuan-temuan ilmuwan Barat tentang kosmologi moderen.

Mengenal Ilmuwan Muslim Al-Jazari

Ra'is Al-A'mal. Gelar itu ditabalkan para insinyur Muslim di abad ke-13 M kepada Al-Jazari. Tak heran, jika nama lengkap sang insinyur fenomenal itu adalah Al-Shaykh Rais al-Amal Badi al-Zaman Abu al-Izz ibn Ismail ibn al-Razzaz al-Jazari. Sedangkan, titel Badi al-Zaman dan Al-Shaykh yang disandangnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang ilmuwan yang unik, tak tertandingi kehebatannya, menguasai ilmu yang tinggi, serta bermartabat.

Sedangkan, kata Al-Jazari yang melekat pada nama lengkapnya itu menunjukkan amsalnya. Keluarga Al-Jazari berasal dari Jazirah Ibnu Umar di Diyar Bakr, Turki. Namun, hipotesis lainnya menyebutkan bahwa Al-Jazari terlahir di Al-Jazira, sebuah kawasan yang terletak di sebelah utara Mesopotamia, yakni kawasan di utara Irak dan timur laut Syiria, tepatnya antara Tigris dan Eufrat.

Di sanalah Al-Jazari mencurahkan hidupnya sebagai seorang insinyur dengan menciptakan berbagai mesin. Para penjelajah dan pelancong yang tandang ke wilayah itu pada abad ke-12 M, mengagumi kemakmuran yang diraih Dinasti Artukid. Pada saat itu pula, kedamaian dan stabilitas politik dan keamanan begitu terkendali.

Seperti halnya sang ayah, Al-Jazari mengabdikan dirinya pada raja-raja dari Dinasti Urtuq atau Artuqid di Diyar Bakir dari tahun 1174 M sampai 1200 M sebagai ahli teknik. Semasa hidupnya, Al-Jazari mengalami tiga kali suksesi kepemimpinan di Dinasti Artukid, yakni Nur al-Din Muhammad ibn Arslan (570 H - 581 H/1174 M - 1185 M); Qutb al-Din Sukman ibn Muhammad (681 H - 697 H/1185 M - 1200 M); dan Nasir al-Din Mahmud ibn Muhammad (597 H - 619 H/1200 M - 1222 M).

Atas permintaan Nasir al-Din Mahmud, Al-Jazari menuliskan seluruh penemuannya dalam sebuah risalah yang fenomenal. Dalam pengantar risalahnya, Al-Jazari mengungkapkan bahwa dirinya mulai mengabdi pada Dinasti Artuqid pada 570 H/1174 M. Ia risalah penemuannya, setelah 25 tahun bersama menjadi ahli teknik di bawah kepemimpinan tiga raja Dinasti Artuqid.

Berdasarkan informasi itu, dapat disimpulkan, kemungkinan Al-Jazari menulis risalahnya pada 595 H/1198 M, atau dua tahun sebelum Nasir Al-Din didaulat menjadi raja. Menurut naskah Oxford, Al-Jazari merampumgkam risalahnya yang mengguncang dunia teknik modern pada 16 Januari 1206 M.

Karya besar Al-jazari itu disempurnakan oleh Muhammad ibn Yusuf ibn `Uthman al-Haskafiat pada akhir Syaban 602 H/10 April 1206. Dari catatan Haskapi, saat itu Al-Jazari sudah tiada. Dari catatan itulah, Al-Jazari diperkirakan wafat pada 602 H/1206 M--beberapa bulan setelah dia menyelesaikan karyanya.

Ibnu Batutah, Penjelajah Muslim Terhebat yang Menjelajahi Dunia untuk Siar Agama

Selama ini kita hanya mengenal penjelajah-penjelajah dari negeri barat seperti Marcopolo, Vasco da Gamma, hingga Bartolomeus Diaz. Selain penjelajah dari barat, kita juga mengenal sangat baik salah satu penjelajah besar dari Tiongkok bernama Laksamana Chengho yang sempat mendarat di Indonesia selama beberapa saat untuk menjalin kerja sama dengan penduduk lokal terutama di kawasan utara Jawa.

Selain penjelajah yang telah disebutkan di atas, masih ada lagi satu penjelajah hebat yang berasal dari Timur Tengah. Dia adalah Ibnu Batutah yang berhasil mengelilingi puluhan negara pada abad ke-14 untuk menjalankan misi siar agama dan juga perdagangan. Berikut kisah dari Ibnu Batutah yang patut kita teladani.

Misi Perjalanan Ibnu Batutah

Ibnu Batutah lahir di Maroko pada tahun 1304, saat usianya mencapai 20 tahun, dia mulai terobsesi untuk mengelilingi dunia. Dengan kemampuan yang dimiliki, Ibnu Batutah melangsungkan perjalanannya untuk naik haji di Mekah. Dari sana, dia mulai banyak melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah yang tidak pernah dibayangkannya.

Saat muda Ibnu Batutah mendapatkan pendidikan terbaik karena memiliki ayah seorang hakim. Dari sini, dia belajar banyak hal baru sehingga rasa penasarannya akan kebudayaan baru di seluruh dunia mulai tumbuh. Saat dirinya mulai yakin dan merasa mampu melakukan perjalanan, Ibnu Batutah mulai melakukan penjelajahan meski harus meninggalkan keluarga termasuk anak dan istrinya.

Mengelilingi 44 Negara di Seluruh Dunia

Dari beberapa catatan sejarah, Ibnu Batutah melakukan perjalanan di 44 negara di seluruh dunia dengan mayoritas muslim. Di kawasan itu, dia melakukan pendekatan baik secara budaya maupun agama untuk mempelajari apa saja yang ada. Ibnu Batutah menginginkan sesuatu yang baru sehingga mengunjungi negeri yang baru adalah impiannya.

Negara yang pernah dijelajahi oleh Ibnu Batutah meliputi Tiongkok, India, Rusia, Suriah, Tanzania, Turki, Negara Jazirah Arab, dan Indonesia khususnya kawasan Samudra Pasai yang kala itu sudah memeluk Islam. Di Samudra Pasai (Ibnu Batutah pernah salah menyebutnya Jawa pada catatannya), Ibnu Batutah melakukan perdagangan terutama rempah-rempah yang sangat berharga dan bernilai jual tinggi.

Belajar Budaya dan Siar Agama

Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan perjalanan 44 negara adalah 30 tahun. Selama itu, Ibnu Batutah tidak pulang ke Maroko sehingga saat anak dan ayahnya meninggal dia tidak tahun. Namun, meski menyisakan duka yang mendalam, perjalanan yang dilakukan oleh Ibnu Batutah memberikan banyak sekali pengalaman yang tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak apa pun.

Selama melakukan perjalanan ke 44 negara di dunia, Ibnu banyak melakukan siar agama Islam. Di negara-negara yang penduduknya masih belum beragama Islam, dia melakukan perdagangan atau kerja sama di bidang lain dengan memasukkan unsur Islam meski tidak secara langsung. Ibnu Batutah ingin apa yang dia miliki dipelajari oleh kawasan yang disinggahi dan dia ingin mempelajari juga budaya di daerah tersebut yang sesuai dengan keyakinannya.

Kisah Perjalanan Ibnu Batutah Jadi Rujukan Penjelajah Eropa

Setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih 30 tahun, Ibnu Batutah akhirnya kembali lagi ke Maroko. Mengetahui ada salah satu warganya yang melakukan perjalanan panjang, Sultan Fez memerintahkan juru tulis bernama Ibnu Juzai untuk menulis kisahnya. Ibnu Batutah diminta menceritakan apa yang dilakukan selama penjelajahan untuk dibuatkan laporan penjelajahan yang komplit.

Dalam penulisan laporan Ibnu Juzai sedikit mengalami kesulitan. Pasalnya, Ibnu Batutah jarang sekali menuliskan laporan perjalanannya. Dia hanya sesekali menulis apa yang dia sukai pada buku harian. Dari buku harian dan apa yang diingatnya, laporan perjalanan berhasil disusun dengan baik dan akhirnya disebarkan ke banyak negara Arab hingga sampai ke Eropa dan dijadikan rujukan penjelajahan.

Inilah kisah tentang Ibnu Batutah yang dikenal sebagai penjelajah muslim terhebat di dunia. Selama perjalanan, dia tidak melakukan penjajahan seperti penjelajah Eropa lain. Justru dia melakukan siar Islam dan kerja sama dengan banyak pihak. Luar biasa!

Baca Juga :
5 Keutamaan Manisnya Ukhuwah Islamiyah
Peristiwa Penting Pada Bulan Rajab
Makna Dua Kalimat Syahadat
Kisah Sahabat Nabi Abu Umamah, Shudday bin Ajlan RA
Isi Kandungan surat An Nahl

Mengenal Tokoh Sains Islam, Ibnu Sina

Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai "Avicenna" di dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan dokter kelahiran Persia (sekarang Iran). Ia juga seorang penulis yang produktif yang sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan kedokteran. Bagi banyak orang, dia adalah "Bapak Kedokteran Modern". Karyanya yang sangat terkenal adalah al-Qānūn fī aṭ-Ṭibb yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.

Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā (Persia ابوعلى سينا Abu Ali Sina, Arab : أبو علي الحسين بن عبد الله بن سينا). Ibnu Sina lahir pada 980 di Afsyahnah daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan dan meninggal bulan Juni 1037 di Hamadan, Persia (Iran).

Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak di antaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. " George Sarton menyebut Ibnu Sina "ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat dan waktu". Karyanya yang paling terkenal adalah Kitab Penyembuhan dan Qanun Kedokteran (Al-Qanun fi At Tibb).

LATAR BELAKANG

Ibnu Sina merupakan seorang filsuf, ilmuwan, dokter, dan penulis aktif yang lahir di zaman keemasan Peradaban Islam. Pada zaman tersebut ilmuwan-ilmuwan muslim banyak menerjemahkan teks ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia dan India. Teks Yunani dari zaman Plato, sesudahnya hingga zaman Aristoteles secara intensif banyak diterjemahkan dan dikembangkan lebih maju oleh para ilmuwan Islam. Pengembangan ini terutama dilakukan oleh perguruan yang didirikan oleh Al-Kindi. Pengembangan ilmu pengetahuan pada masa ini meliputi matematika, astronomi, Aljabar, Trigonometri, dan ilmu pengobatan. Pada zaman Dinasti Samayid dibagian timur Persian wilayah Khurasan dan Dinasti Buyid dibagian barat Iran dan Persian memberi suasana yang mendukung bagi perkembangan keilmuan dan budaya. Di zaman Dinasti Samaniyah, Bukhara dan Baghdad menjadi pusat budaya dan ilmu pengetahun dunia Islam.

Ilmu-ilmu lain seperti studi tentang Al-Quran dan Hadist berkembang dengan perkembangan dengan suasana perkembangan ilmiah. Ilmu lainya seperti ilmu filsafat, Ilmu Fikih, Ilmu Kalam sangat berkembang dengan pesat. Pada masa itu Al-Razi dan Al-Farabi menyumbangkan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu pengobatan dan filsafat. Pada masa itu Ibnu Sina memiliki akses untuk belajar di perpustakaan besar di wilayah Balkh, Khwarezmia, Gorgan, Kota Ray, Kota Isfahan dan Hamedan. Selain fasilitas perpustakaan besar yang memiliki banyak koleksi buku, pada masa itu hidup pula beberapa ilmuwan muslim seperti Abu Raihan Al-Biruni seorang astronom terkenal, Aruzi Samarqandi, Abu Nashr Mansur seorang matematikawan terkenal dan sangat teliti, Abu al-Khayr Khammar seorang fisikawan dan ilmuwan terkenal lainya.

BIOGRAFI

Kehidupan awal

Ibnu Sina lahir 980 masehi di Afsana, sebuah desa dekat Bukhara (sekarang dikenal dengan Uzbekistan), ibukota Samaniyah, sebuah dinasti Persia di Central Asia dan Greater Khorasan. Ibunya, bernama Setareh, berasal dari Bukhara; ayahnya, Abdullah, adalah seorang Ismaili yang dihormati, sarjana dari Balkh, sebuah kota penting dari Kekaisaran Samanid (sekarang dikenal dengan provinsi Balkh, Afghanistan). Ayahnya bekerja di pemerintahan Samanid di desa Kharmasain, kekuatan regional Sunni. Setelah lima tahun, adiknya, Mahmoud lahir. Ibnu Sina sejak kecil mulai mempelajari Al-Quran dan sasta, kira-kira sebelum ia berusia 10 tahun.

Sejumlah teori telah diusulkan mengenai madhab (pemikiran dalam islam) Ibnu Sina. Sejarawan abad pertengahan Zahir al-din al-Baihaqi (d. 1169) menganggap Ibnu Sina menjadi pengikut Ikhwan al-Safa. Di sisi lain, Dimitri Gutas bersama dengan Aisha Khan dan Jules J. Janssens menunjukkan bahwa Avicenna adalah Sunni Hanafi. Namun, abad ke-14 Shia faqih Nurullah Shushtari menurut Seyyed Hossein Nasr, menyatakan bahwa ia kemungkinan besar adalah bermadhab Dua Belas Syiah. Sebaliknya, Sharaf Khorasani, mengutip penolakan undangan dari Gubernur Sunni Sultan Mahmud Ghazanavi oleh Ibnu Sina di istananya, percaya bahwa Ibnu Sina adalah Ismaili. Perbedaan pendapat serupa ada pada latar belakang keluarga Avicenna, sedangkan beberapa penulis menganggap mereka Sunni, beberapa lagi menganggap bahwa dia adalah Syiah.

Menurut otobiografinya, Ibnu Sina telah hafal seluruh Quran pada usia 10 tahun. Ia belajar aritmetika India dari pedagang sayur India Mahmoud Massahi dan ia mulai belajar lebih banyak dari seorang sarjana yang memperoleh nafkah dengan menyembuhkan orang sakit dan mengajar anak muda. Dia juga belajar Fiqih (hukum Islam) di bawah Sunni Hanafi sarjana Ismail al-Zahid.

Sebagai seorang remaja, dia sangat bingung dengan teori Metafisika Aristoteles, yang ia tidak bisa mengerti sampai dia membaca komentar al-Farabi pada pekerjaan. Untuk tahun berikutnya, ia belajar filsafat, di mana ia bertemu lebih besar rintangan. Pada saat-saat seperti ini, dia akan meninggalkan buku-bukunya, melakukan wudhu, kemudian pergi ke masjid dan terus berdoa sampai hidayah menyelesaikan kesulitan-kesulitannya. Jauh malam, ia akan melanjutkan studi dan bahkan dalam mimpinya masalah akan mengejar dia dan memberikan solusinya. Empat puluh kali, dikatakan, dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata-kata itu dicantumkan pada ingatannya; tetapi artinya tak jelas, sampai suatu hari mereka menemukan pencerahan, dari uraian singkat oleh Farabi, yang dibelinya di sebuah toko buku seharga kurang dari tiga dirham. Begitu besar kegembiraannya atas penemuannya itu, yang dibuat dengan bantuan sebuah karya dari yang telah diperkirakan hanya misteri, bahwa ia bergegas untuk kembali, berterima kasih kepada Tuhan dan diberikan sedekah atas orang miskin.

Dia beralih ke pengobatan di usia 16 dan tidak hanya belajar teori kedokteran, tetapi juga menemukan metode baru pengobatan. Anak muda ini memperoleh status penuh sebagai dokter yang berkualitas pada usia 18 dan menemukan bahwa "Kedokteran adalah ilmu yang sulit ataupun berduri, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya segera membuat kemajuan besar, saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat pasien, menggunakan obat yang disetujui". Ketenaran Ibnu Sina menyebar dengan cepat dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.

Masa Dewasa

Janji pertama Ibnu Sina adalah bahwa emir Nuh II yang berhutang padanya pemulihan dari penyakit berbahaya (997), Ibnu Sina berhasil mendapat akses ke perpustakaan kerajaan Samaniyah. Ketika perpustakaan dihancurkan oleh api tidak lama setelah itu, musuh-musuh Ibnu Sina menuduhnya membakar perpustakaan dan dituduh menyembunyikan sumber pengetahuannya hanya untuk dirinya. Sementara itu, ia membantu ayahnya dalam pekerjaannya, tetapi tetap meluangkan waktu untuk menulis beberapa karya paling awal.

Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ia kehilangan ayahnya. Dinasti Samanid telah berakhir pada bulan Desember 1004. Ibnu Sina tampaknya telah menolak tawaran Mahmud dari Ghazni dan menuju kearah Barat ke Urgench di Turkmenistan modern, di mana wazir, dianggap sebagai teman sarjana, memberinya uang saku bulanan yang kecil. Ibnu Sina lalu mengembara dari satu tempat ke tempat lain melalui distrik Nishapur dan Merv ke perbatasan Khorasan. Qabus, penguasa yang murah hati di Tabaristan, dirinya seorang penyair dan sarjana, yang mana Ibnu Sina mengharapkan menemukan suaka, pada sekitar tanggal tersebut (1012) mati kelaparan oleh pasukannya yang memberontak. Ibnu Sina sendiri pada saat ini dilanda penyakit parah. Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspia, Ibnu Sina bertemu dengan seorang teman, yang membeli sebuah rumah di dekat rumahnya sendiri di mana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi. Beberapa risalah Ibnu Sina ditulis untuk pelindung ini dan permulaan dari buku Canon of Medicine juga ditulis saat ia menetap di Hyrcania.

Ibnu Sina kemudian menetap di Rey, di sekitar Teheran modern, kota asal Rhazes; mana Majd Addaula, putra dari Buwaihi emir terakhir, adalah penguasa nominal di bawah Kabupaten ibunya (Seyyedeh Khatun). Sekitar tiga puluh karya Ibnu Sina dikatakan telah disusun dalam Rey. permusuhan konstan yang berkecamuk antara bupati dan putra keduanya, Shams al-Daulah, bagaimanapun, memaksa sarjana untuk berhenti tempat. Setelah tinggal singkat di Qazvin ia lulus arah selatan ke Hamadan mana Shams al-Daulah, Buwaihi emir lain, telah memantapkan dirinya. Pada awalnya, Ibnu Sina mengadakan pelayanan seorang wanita tinggi lahir; tetapi emir, mendengar kedatangannya, memanggilnya sebagai petugas medis, dan mengirimnya kembali dengan hadiah ke tempat tinggalnya. Ibnu Sina bahkan diangkat ke kantor wazir. emir memutuskan bahwa ia harus dibuang dari negeri. Ibnu Sina, bagaimanapun, tetap tersembunyi selama empat puluh hari di rumah syekh Ahmed Fadhel, sampai serangan segar penyakit yang disebabkan emir untuk mengembalikan dia ke posnya. Bahkan selama terganggu ini, Ibnu Sina bertahan dengan studi dan ajaran-Nya. Setiap malam, ekstrak dari karya-karya besarnya, Canon dan Sanatio, ungkapkan dan menjelaskan kepada murid-muridnya. Pada kematian emir, Ibnu Sina berhenti menjadi wazir dan bersembunyi di rumah seorang apoteker, di mana, dengan ketekunan intens, ia melanjutkan komposisi karya-karyanya.

Sementara itu, ia telah menulis untuk Abu Ya'far, prefek kota dinamis Isfahan, menawarkan jasanya. Emir baru Hamadan, mendengar korespondensi ini dan menemukan di mana Ibn Sina bersembunyi, dipenjara dia di sebuah benteng. Sementara perang terus antara penguasa Isfahan dan Hamadan; di 1024 mantan ditangkap Hamadan dan kota-kota, mengusir tentara bayaran Tajik. Ketika badai berlalu, Ibnu Sina kembali dengan emir ke Hamadan, dan dilakukan pada tenaga kerja sastra. Kemudian, ditemani oleh saudaranya, murid favorit, dan dua budak, Ibnu Sina melarikan diri dari kota menggunakan gaun bernuansa Sufi. Setelah perjalanan berbahaya, mereka mencapai Isfahan, menerima sambutan terhormat dari pangeran.

Sisa Hidup

Sisa sepuluh atau dua belas tahun hidup Ibnu Sina ini dihabiskan dalam pelayanan dari Kakuyid penguasa Muhammad bin Rustam Dushmanziyar (juga dikenal sebagai Ala al-Dawla), yang ia didampingi sebagai dokter, sastra, dan penasihat ilmiah, bahkan dalam berbagai kampanye nya .

Selama tahun ini ia mulai belajar hal-hal sastra dan filologi. Sebuah kolik parah, yang menangkap dia di barisan tentara terhadap Hamadan, diperiksa oleh obat sehingga kekerasan yang Ibnu Sina nyaris tak bisa berdiri. Pada kesempatan yang sama penyakit itu kembali; dengan kesulitan ia mencapai Hamadan, di mana, menemukan penyakit mendapatkan tanah, ia menolak untuk mengikuti rejimen yang dikenakan, dan mengundurkan diri dirinya untuk nasibnya.

Teman-temannya menyarankan dia untuk memperlambat dan mengambil hidup cukup. Dia menolak, bagaimanapun, menyatakan bahwa:. "Saya lebih memilih hidup yang pendek dengan lebar untuk satu sempit dengan panjang" Pada penyesalan ranjang kematiannya menangkapnya; ia diberikan barang nya pada orang miskin, dipulihkan keuntungan yang tidak adil, membebaskan budak, dan membaca Al-Quran setiap tiga hari sampai kematiannya. Ia meninggal pada Juni 1037, pada tahun kelima puluh kedelapan, dalam bulan Ramadan dan dimakamkan di Hamadan, Iran.

Filsafat

Ibnu Sina menulis secara ekstensif pada filsafat Islam awal, terutama mata pelajaran logika, etika, dan metafisika, termasuk risalah bernama Logika dan Metafisika. Sebagian dari karya-karyanya ditulis dalam bahasa Arab - maka bahasa ilmu di Timur Tengah - dan beberapa dalam bahasa Persia. Signifikansi linguistik bahkan sampai hari ini adalah beberapa buku yang ia tulis dalam bahasa Persia hampir murni (terutama Danishnamah-yi 'Ala', Filsafat untuk Ala 'ad-Dawla').

Buku tentang Penyembuhan menjadi tersedia di Eropa dalam terjemahan Latin parsial beberapa puluh tahun setelah komposisi, dengan judul Sufficientia, dan beberapa penulis telah mengidentifikasi "Latin Avicennism" sebagai berkembang untuk beberapa waktu, sejalan dengan lebih berpengaruh Latin Averroism, tetapi ditekan oleh dekret Paris dari 1210 dan 1215. psikologi dan teori pengetahuan Avicenna dipengaruhi William dari Auvergne, Uskup Paris dan Albertus Magnus, sementara metafisika berdampak pada pemikiran Thomas Aquinas.

Metafisik

Filsafat dan Islam metafisika Islam awal, dijiwai karena dengan teologi Islam, membedakan lebih jelas daripada Aristotelianisme antara esensi dan eksistensi. Sedangkan keberadaan adalah domain dari kontingen dan disengaja, esensi bertahan dalam makhluk luar disengaja. Filsafat Ibnu Sina, terutama bagian yang berkaitan dengan metafisika, berutang banyak al-Farabi. Pencarian untuk filsafat Islam definitif terpisah dari okasionalisme dapat dilihat pada apa yang tersisa dari karyanya.

Setelah memimpin al-Farabi, Ibnu Sina memulai penyelidikan penuh ke dalam pertanyaan dari makhluk, di mana ia membedakan antara esensi (Mahiat) dan keberadaan (Wujud). Dia berargumen bahwa fakta keberadaan tidak dapat disimpulkan dari atau dicatat dengan esensi dari hal-hal yang ada, dan bentuk yang dan materi sendiri tidak dapat berinteraksi dan berasal gerakan alam semesta atau aktualisasi progresif hal yang ada. Keberadaan harus, karena itu, disebabkan agen-penyebab yang mengharuskan, mengajarkan, memberikan, atau menambah eksistensi ke esensi. Untuk melakukannya, penyebabnya harus menjadi hal yang ada dan hidup berdampingan dengan efeknya.

Pertimbangan Avicenna dari pertanyaan esensi-atribut dapat dijelaskan dalam hal analisis ontologis tentang modalitas menjadi; yaitu kemustahilan, kontingensi, dan kebutuhan. Avicenna berpendapat bahwa makhluk tidak mungkin adalah bahwa yang tidak bisa eksis, sementara kontingen sendiri (mumkin bi-dhatihi) memiliki potensi untuk menjadi atau tidak menjadi tanpa yang melibatkan kontradiksi. Ketika diaktualisasikan, kontingen menjadi 'ada diperlukan karena apa yang selain itu sendiri' (wajib al-wujud bi-ghayrihi). Jadi, kontingensi dalam dirinya adalah potensi beingness yang akhirnya bisa diaktualisasikan oleh penyebab eksternal selain itu sendiri. Struktur metafisik kebutuhan dan kontinjensi berbeda. makhluk diperlukan karena itu sendiri (wajib al-wujud bi-dhatihi) benar dalam dirinya sendiri, sedangkan makhluk kontingen adalah 'palsu dalam dirinya sendiri' dan 'benar karena sesuatu yang lain selain itu sendiri'. Yang diperlukan adalah sumber keberadaan sendiri tanpa adanya dipinjam. Ini adalah apa yang selalu ada.

The Necessary ada 'karena-to-Its-Self', dan tidak memiliki hakikat / esensi (mahiyya) selain keberadaan (wujud). Selanjutnya, Ini adalah 'One' (wahid ahad) karena tidak bisa ada lebih dari satu 'Diperlukan-yang Ada-karena-to-Hakikat' tanpa differentia (fasl) untuk membedakan mereka dari satu sama lain. Namun, untuk meminta differentia mensyaratkan bahwa mereka ada 'karena-to-diri' serta 'karena apa yang selain diri mereka sendiri'; dan ini bertentangan. Namun, jika tidak ada differentia membedakan mereka dari satu sama lain, maka tidak ada rasa di mana ini 'Existent' tidak satu dan sama. Ibnu Sina menambahkan bahwa 'Diperlukan-yang Ada-karena-to-Hakikat' tidak memiliki genus (jins), atau definisi (hadd), maupun rekan (nTambahkan) atau berlawanan (melakukan), dan terlepas (bari) dari materi (madda), kualitas (kayf), kuantitas (kam), tempat (ain ), situasi (segumpal), dan waktu (waqt).

Teologi

Avicenna adalah seorang Muslim yang taat dan berusaha untuk mendamaikan filsafat rasional dengan teologi Islam. Tujuannya adalah untuk membuktikan keberadaan Tuhan dan ciptaan-Nya dari dunia ilmiah dan melalui akal dan logika. views Avicenna tentang teologi Islam (dan filsafat) yang sangat berpengaruh, membentuk bagian dari inti kurikulum di sekolah-sekolah agama Islam sampai abad ke-19. Ibnu Sina menulis sejumlah risalah singkat berurusan dengan teologi Islam. Ini risalah disertakan pada nabi (yang ia dipandang sebagai "filsuf terinspirasi"), dan juga pada berbagai penafsiran ilmiah dan filosofis dari Quran, seperti bagaimana Quran kosmologi sesuai dengan sistem filsafat sendiri. Secara umum risalah ini terkait tulisan-tulisan filosofis ide-ide agama Islam; misalnya, akhirat tubuh.

Ada petunjuk singkat sesekali dan sindiran dalam bukunya lagi bekerja namun yang Avicenna dianggap filsafat sebagai satu-satunya cara yang masuk akal untuk membedakan nubuatan nyata dari ilusi. Dia tidak menyatakan ini lebih jelas karena implikasi politik dari teori semacam itu, jika nubuat bisa dipertanyakan, dan juga karena sebagian besar waktu ia menulis karya pendek yang berkonsentrasi pada menjelaskan teori-teorinya tentang filsafat dan teologi jelas, tanpa menyimpang ke mempertimbangkan hal-hal epistemologis yang hanya bisa dipertimbangkan oleh filsuf lain.

Kemudian interpretasi dari Avicenna filsafat dibagi menjadi tiga sekolah yang berbeda; mereka (seperti al-Tusi) yang terus menerapkan filosofinya sebagai sistem untuk menafsirkan peristiwa politik kemudian dan kemajuan ilmiah; mereka (seperti al-Razi) yang dianggap karya teologis Avicenna dalam isolasi dari keprihatinan filosofis yang lebih luas; dan mereka (seperti al-Ghazali) yang selektif digunakan bagian dari filsafat untuk mendukung upaya mereka sendiri untuk mendapatkan wawasan spiritual yang lebih besar melalui berbagai cara mistis. Itu interpretasi teologis diperjuangkan oleh orang-orang seperti al-Razi yang akhirnya datang untuk mendominasi di madrasah.

Avicenna menghafal Al Qur'an pada usia sepuluh, dan sebagai orang dewasa, ia menulis lima risalah mengomentari surah dari Al-Qur'an. Salah satu teks-teks ini termasuk Bukti Nubuat, di mana dia komentar pada beberapa ayat-ayat Alquran dan memegang Quran di harga tinggi. Avicenna berpendapat bahwa nabi Islam harus dianggap lebih tinggi dari filsuf.

eksperimen pikiran

Sementara ia dipenjarakan di kastil Fardajan dekat Hamadhan, Ibnu Sina menulis yang terkenal "Mengambang Man" nya - benar jatuh man - percobaan berpikir untuk menunjukkan manusia kesadaran diri dan kekukuhan dan tidak material jiwa. Ibnu Sina percaya nya "Mengambang Man" eksperimen pikiran menunjukkan bahwa jiwa adalah substansi, dan mengklaim manusia tidak dapat meragukan kesadaran mereka sendiri, bahkan dalam situasi yang mencegah semua input data sensorik. Pikiran percobaan kepada pembacanya untuk membayangkan diri mereka diciptakan sekaligus sementara ditangguhkan di udara, terisolasi dari semua sensasi, yang mencakup tidak ada kontak sensorik bahkan dengan tubuh mereka sendiri. Dia berargumen bahwa, dalam skenario ini, kita masih akan memiliki kesadaran diri. Karena dapat dibayangkan bahwa seseorang, ditangguhkan sementara udara terputus dari pengalaman rasa, masih akan mampu menentukan eksistensi sendiri, poin pemikiran percobaan untuk kesimpulan bahwa jiwa adalah kesempurnaan, independen dari tubuh dan immaterial zat. The conceivability ini "Mengambang Man" menunjukkan bahwa jiwa dianggap intelektual, yang mencakup keterpisahan jiwa dari tubuh. Avicenna disebut kecerdasan manusia hidup, terutama intelek aktif, yang ia percaya untuk menjadi hypostasis yang melaluinya Tuhan berkomunikasi kebenaran kepada pikiran manusia dan menanamkan ketertiban dan kejelasan dengan alam.

KARYA IBNU SINA

Jumlah karya yang ditulis Ibnu Sina (diperkirakan antara 100 sampai 250 buah judul). Kualitas karyanya yang bergitu luar biasa dan keterlibatannya dalam praktik kedokteran, mengajar, dan politik, menunjukkan tingkat kemampuan yang luar biasa. Beberapa Karyanya yang sangat terkenal di antara lain :
  • Qanun fi Thib (Canon of Medicine) (Terjemahan bebas : Aturan Pengobatan)
  • Asy Syifa (terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan)
  • An Najat
  • Mantiq Al Masyriqin (Logika Timur)

Selain karya filsafatnya tersebut, Ibnu Sina meninggalkan sejumlah esai dan syair. Beberapa esainya yang terkenal adalah :
  • Hayy ibn Yaqzhan
  • Risalah Ath-Thair
  • Risalah fi Sirr Al-Qadar
  • Risalah fi Al- 'Isyq
  • Tahshil As-Sa'adah

Dan beberapa Puisi terpentingnya yaitu :
  • Al-Urjuzah fi Ath-Thibb
  • Al-Qasidah Al-Muzdawiyyah
  • Al-Qasidah Al- 'Ainiyyah
Sumber : Wikipedia

Abul Wafa, Ilmuwan Muslim Penemu Rumus Dasar Trigonometri

Bahkan matematika juga yang membuat namanya dikenal di dunia Barat. Abul Wafa adalah seorang ilmuwan serba bisa.

Selain jago di bidang matematika, ia pun terkenal sebagai insinyur dan astronom terkenal pada zamannya.

Ia terlahir di Buzjan, Khurasan (Iran) pada tanggal 10 Juni 940/328H.

Ia belajar matematika dari pamannya, Abu Umar al Maghazali dan Abu Muhammad Ibn Ataba.

Salah satu peran terbesar Abul Wafa dalam Matematika adalah menemukan rumus dasar Trigonometri.

Trigonometri berasal dari kata trigonon yang artinya tiga sudut dan metro; mengukur.

Ilmu tersebut merupakan cabang matematika yang berhadapan dengan sudut segi tiga dan fungsi trigonometrik seperti sinus, cosinus dan tangen.

Rumus-rumus yang dihasilkan oleh Abul Wafa, hingga kini masih bertahan.

Kemampuannya menciptakan rumus-rumus baru matematika membuktikan bahwa Abul Wafa adalah seorang ahli matematika yang jenius!

Pantas, jika ilmuwan Islam ini dianggap sebagai orang jenius.

Pengetahuannya begitu luas, termasuk dalam bidang astronomi.

Karena kemampuannya itulah, Organisasi Astronomi Internasional (IAU) pun mengabadikan namanya di kawah bulan!

Abul Wafa menjadi salah satu dari 24 ilmuwan Islam yang namanya diabadikan tanpa menggunakan nama barat.

Jadi, nama yang tertulis di kawah bulan itu benar-benar nama aslinya, Abul Wafa.

Lokasi kawah bulan bertuliskan nama Abul Wafa ada di dekat ekuator bulan.

Letaknya berdekatan dengan sepasang kawah Ctesibius dan Heron di sebelah timur.

Begitulah dunia astronomi moderen mengakui jasanya sebagai seorang astronom di abad ke-10.

Sumber : tribunnews.com

Baca Juga :
Keragaman Suku Bangsa Dan Budaya Di Indonesia
Kisah Sahabat Nabi Maisarah bin Masruq al Absi RA
Peristiwa Sejarah di Bulan Jumadil Awal
Kisah Nabi Yusuf AS
Kenapa Banteng Menyerang Warna Merah?

Ibnu Khaldun, Cendekia Muslim Penemu Ilmu Sosiologi

Tokoh Islam banyak melahirkan ilmuwan dan cendekiawan yang cerdas. Berbagai ilmu pengetahuan dan sosial pun dipelajari dengan baik oleh cendekia muslim bernama Ibnu Khaldun. Tokoh ini tercatat sebagai penemu ilmu sosial khususnya sosiologi.

Ibnu Khaldun yang memiliki nama panjang, Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan. Tokoh ini lahir di bulan Ramadhan, tepatnya 1 Ramadhan 732 (27 Mei 1332) di Tunisia. Di tanah kelahirannya itu, ia tertarik mempelajari berbagai ilmu seperti syariat, bahasa, fisika, dan matematika.

Al quran pun sudah dihapalnya sedari kecil. Sejak kecil pula, ia sudah tertarik mengikuti kegiatan politik.

Bahkan ketika ia mulai tumbuh dewasa, beberapa dinasti kecil sudah memberikannnya jabatan penting di kalangan pemerintahan.

Namun, kemudian ia sebagai sejarawan dan ahli filsafat Islam lebih memilih untuk memberikan perhatian pada kegiatan menulis dan mengajar.

Dalam semua bidang pelajaran, ia mendapatkan nilai yang sangat memuaskan dari para gurunya.

Namun pendidikannya sempat terhenti karena penyakit pes telah melanda selatan Afrika pada tahun 749 H.

Penyakit itu merenggut ribuan nyawa termasuk ayahnya dan sebagian besar gurunya. Beberapa karya hebatnya telah dikenal dunia. Ia pun dijuluki sebagai Bapak Sosiologi Dunia.

Salah satu karyanya, kitab al-'ibar (tujuh jilid) ini pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada tahun 1863, dengan judul Les Prolegomenes d'Ibn Khaldoun .

Kitab ini ini pun dijadikan dasar dalam ilmu sosiologi oleh sosiolog-sosiolog German dan Austria yang memberikan pencerahan bagi para sosiolog modern di tahun 1890.

Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-Ta'riif bi Ibn Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah (pendahuluan atas kitabu al-'ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis).

Isi Muqadimmah ini adalah pembahasan tentang ilmu sosial dan politik, dasar-dasar pembangunan masyarakat, dan pembidangan ilmu pengetahuan.

Sumber : tribunnews.com

Baca Juga :

Riba, Dosa Besar Yang Menghancurkan

Riba merupakan perbuatan dosa besar dengan ijma’ Ulama, berdasarkan al-Qur`ân, as-Sunnah. Dalil dari al-Qur`ân di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allâh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. [al-Baqarah/2:275]
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang umatnya dari riba dan memberitakan bahwa riba termasuk tujuh perbuatan yang menghancurkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Apakah itu?” Beliau n menjawab, “Syirik kepada Allâh, sihir, membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. [HR. al-Bukhâri, no. 3456; Muslim, no. 2669]
Para Ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum Muslimin telah sepakat akan haramnya riba. Riba itu termasuk kabâir (dosa-dosa besar). Ada yang mengatakan bahwa riba diharamkan dalam semua syari’at (Nabi-Nabi), di antara yang menyatakannya adalah al-Mawardi”. [al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, 9/391]
Syaikhul Islam oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Melakukan riba hukumnya haram berdasarkan al-Qur`ân, as-Sunnah, dan ijma’.” [Majmû’ al-Fatâwâ, 29/391]
MAKNA DAN MACAM-MACAM RIBA

Secara lughah (bahasa) riba artinya tambahan, sedangkan menurut istilah syara’ (agama), para fuqahâ’ (ahli fiqih) memberikan ta’rîf (difinisi) yang berbeda-beda kalimatnya, namun maknanya berdekatan.


al-Hanafiyyah menyatakan riba adalah kelebihan yang tidak ada penggantinya (imbalannya) menurut standar syar’i, yang disyaratkan untuk salah satu dari dua orang yang melakukan akad penukaran (harta). [al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/50]
Syâfi’iyyah menyatakan riba adalah akad untuk mendapatkan ganti tertentu yang tidak diketahui persamaannya menurut standar syar’i (agama Islam) pada waktu perjanjian, atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang ditukar, atau salah satunya. [al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/50]
Hanabilah menyatakan riba adalah perbedaan kelebihan di dalam perkara-perkara, mengakhirkan di dalam perkara-perkara, pada perkara-perkara khusus yang yang ada keterangan larangan riba dari syara’ (agama Islam), dengan nash (keterangan tegas) di dalam sebagiannya, dan qiyas pada yang lainnya. [al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/50]
Definisi riba ini akan lebih jelas jika kita mengetahui macam-macam riba, sebagai berikut:
1. Riba an-Nasî’ah (Riba Karena Mengakhirkan Tempo)

Yaitu: tambahan nilai hutang sebagai imbalan dari tempo yang diundurkan. Dinamakan riba an-nasî’ah (mengakhirkan), karena tambahan ini sebagai imbalan dari tempo hutang yang diundurkan. Hutang tersebut bisa karena penjualan barang atau hutang (uang).

Riba ini juga disebut riba al-Qur’an, karena diharamkan di dalam Al-Qur’an. Allâh berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴿٢٧٨﴾ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allâh dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah/2: 278-279]
Ayat ini merupakan nash yang tegas bahwa yang menjadi hak orang yang berpiutang adalah pokok hartanya saja, tanpa tambahan. Dan tambahan dari pokok harta itu disebut riba. [Lihat Taudhîhul Ahkâm min Bulûghil Marâm, 4/6, karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam]
Jika tambahan itu atas kemauan dan inisiatif orang yang berhutang ketika dia hendak melunasi hutangnya, tanpa disyaratkan maka sebagian ahli fiqih membolehkan. Namun orang yang berhati-hati tidak mau menerima tambahan tersebut karena khawatir itu termasuk pintu-pintu riba, wallahu a’lam. [Lihat Fathul Bâri pada syarh hadits no: 3814]
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan larangan ini dalam khutbah wada’ dan hadits-hadits lainnya. Sehingga kaum Muslimin bersepakat tentang keharaman riba an-nasîah ini.
Riba ini juga disebut riba al-jahiliyyah, karena riba ini yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.
Riba ini juga disebut riba jali (nyata) sebagaimana dikatakan oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab I’lâmul Muwaqqi’in, 2/154. [al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/57]
Riba ini juga disebut dengan riba dain/duyun (riba pada hutang), karena terjadi pada hutang piutang.
Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang riba yang tidak diragukan (keharamannya-pen), dia menjawab, “Riba itu adalah seseorang memiliki piutang, lalu dia berkata kepada orang yang berhutang, “Engkau bayar (sekarang) atau (pembayarannya ditunda tapi dengan) memberi tambahan (riba)?” Jika dia tidak membayar, maka orang yang berhutang memberikan tambahan harta (saat pembayaran), dan pemilik piutang memberikan tambahan tempo. [I’lâmul Muwaqqi’in]
Imam Ibnul ‘Arabi al-Mâliki rahimahullah berkata, “Orang-orang jahiliyyah dahulu biasa berniaga dan melakukan riba. Riba di kalangan mereka telah terkenal. Yaitu seseorang menjual kepada orang lain dengan hutang. Jika waktu pembayaran telah tiba, orang yang memberi hutang berkata, “Engkau membayar atau memberi riba (tambahan)?” Yaitu: Engkau memberikan tambahan hartaku, dan aku bersabar dengan waktu yang lain. Maka Allâh Azza wa Jalla mengharamkan riba, yaitu tambahan (di dalam hutang seperti di atas-pen). [Ahkâmul Qur’an, 1/241, karya Ibnul ‘Arabi]
Dengan penjelasan di atas kita mengetahui bahwa riba jahiliyyah yang dilarang dengan keras oleh Allâh dan RasulNya adalah tambahan nilai hutang sebagai imbalan dari tambahan tempo yang diberikan, sementara tambahan tempo itu sendiri disebabkan ketidakmampuannya membayar hutang pada waktunya. Jika demikian, maka tambahan uang yang disyaratkan sejak awal terjadinya akad hutang-piutang, walaupun tidak jatuh tempo, yang dilakukan oleh bank, BMT, koperasi, dan lainnya, di zaman ini, adalah riba yang lebih buruk dari riba jahiliyyah, walaupun mereka menyebut dengan istilah bunga.
2. Riba al-Fadhl (Riba Karena Kelebihan)

Yaitu riba dengan sebab adanya kelebihan pada barang-barang riba yang sejenis, saat ditukarkan.

Riba ini juga disebut riba an-naqd (kontan) sebagai kebalikan dari riba an-nasî’ah. Juga dinamakan riba khafi (samar) sebagai kebalikan riba jali (nyata). [al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/58]
Barang-barang riba ada enam menurut nash hadits, seperti di bawah ini:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
Dari Abu Sa’id al-Khudri Rahiyallahu anhu, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, burr (jenis gandum) dengan burr, sya’ir (jenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, harus sama (timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa menambah atau minta tambah berarti dia melakukan riba, yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini adalah hukumnya sama.” [HR. Muslim, no. 4148]
BAHAYA RIBA DI DUNIA

Berbagai bahaya riba mengancam para pelakunya di dunia sebelum di akhirat, antara lain:


1. Laknat Bagi Pelaku Riba
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua saksinya”, dan Beliau n bersabda, “Mereka itu sama.” [HR. Muslim, no. 4177]
2. Perang Dari Allâh Azza Wa Jalla Dan RasulNya

Barangsiapa nekat melakukan riba, padahal larangan sudah sampai kepadanya, maka hendaklah dia bersiap mendapatkan serangan peperangan dari Allâh dan RasulNya. Siapa yang akan menang melawan Allâh? Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allâh dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [Al-Baqarah/2: 278-279]

BAHAYA RIBA DI AKHIRAT

Selain bahaya di dunia, maka riba juga mengakibatkan bahaya mengerikan di akhirat, antara lain:

1. Bangkit Dari Kubur Dirasuki Setan

Ini telah diberitakan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’ân dan dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :


عَنْ عَوْفِ بن مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :”إِيَّايَ وَالذُّنُوبَ الَّتِي لا تُغْفَرُ: الْغُلُولُ، فَمَنْ غَلَّ شَيْئًا أَتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَآكِلُ الرِّبَا فَمَنْ أَكَلَ الرِّبَا بُعِثَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَجْنُونًا يَتَخَبَّطُ”, ثُمَّ قَرَأَ: “الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ”
Dari ‘Auf bin Malik, dia berkata: RasûlullâhShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah dosa-dosa yang tidak terampuni: ghulul (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagi; khianat; korupsi). Barangsiapa melakukan ghulul terhadap sesuatu barang, dia akan membawanya pada hari kiamat. Dan pemakan riba. Barangsiapa memakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila, berjalan sempoyongan.” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca (ayat yang artinya), “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”. (al-Baqarah/2:275) [HR. Thabrani di dalam Mu’jamul Kabîr, no. 14537; al-Khatib dalam at-Târîkh. Dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahîhah, no. 3313 dan Shahîh at-Targhîb, no. 1862]
2. Akan Berenang Di Sungai Darah
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِى ، فَأَخْرَجَانِى إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ ، فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ ، وَعَلَى وَسَطِ النَّهْرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ ، فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِى فِى النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِى فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ ، فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِى فِيهِ بِحَجَرٍ ، فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِى رَأَيْتَهُ فِى النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا
Dari Samurah bin Jundub, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tadi malam aku bermimpi ada dua laki-laki yang mendatangiku, keduanya membawaku ke kota yang disucikan. Kami berangkat sehingga kami mendatangi sungai darah. Di dalam sungai itu ada seorang laki-laki yang berdiri. Dan di pinggir sungai ada seorang laki-laki yang di depannya terdapat batu-batu. Laki-laki yang di sungai itu mendekat, jika dia hendak keluar, laki-laki yang di pinggir sungai itu melemparkan batu ke dalam mulutnya sehingga dia kembali ke tempat semula. Setiap kali laki-laki yang di sungai itu datang hendak keluar, laki-laki yang di pinggir sungai itu melemparkan batu ke dalam mulutnya sehingga dia kembali ke tempat semula. Aku bertanya, “Apa ini?” Dia menjawab, “Orang yang engkau lihat di dalam sungai itu adalah pemakan riba’”. [HR. al-Bukhâri]
3. Nekat Melakukan Riba Padahal Sudah Sampai Lrangan, Diancam Dengan Neraka

Allah Azza wa Jalla berfirman :


ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allâh. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [al-Baqarah/2:275]
Inilah berbagai ancaman mengerikan bagi pelaku riba. Alangkah baiknya mereka bertaubat sebelum terlambat. Sesungguhnya nikmat maksiat hanya sesaat, namun akan membawa celaka di dunia dan di akhirat. Hanya Allâh Azza wa Jalla tempat memohon pertolongan.

Thursday 31 January 2019

Macam-Macam Nafsu dalam Al-Quran

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Dalam al-Quran, Allah menyebutkan nafsu dengan 3 sifat, yang ketiganya kembali kepada keadaan masing-masing nafsu.
Pertama, nafsu muthmainnah [النفس المطمئنة]
Itulah jiwa yang tenang karena iman, amal soleh, dan ketaatan kepada Rabnya.
Allah berfirman,
الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. ar-Ra’du: 28)
Allah juga berfirman,
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ . ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (QS. al-Fajr: 27-28).
Kedua, nafsu lawwamah [النفس اللوّامة]
Kata laama – yaluumu [لام – يلوم] secara bahasa artinya mencela. Laaim [لائم] artinya orang yang mencela. Jika dia suka mencela disebut lawwam [لوّام].
Disebut nafsu lawwamah karena nafsu ini sering mencela orangnya disebabkan ia telah melakukan kesalahan, baik dosa besar, dosa kecil, atau meninggalkan perintah, baik yang sifatnya wajib atau anjuran.
Allah bersumpah dengan menyebut nafsu jenis ini dalam al-Quran,
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Aku bersumpah dengan menyebut nafsu lawwamah.” (QS. al-Qiyamah: 2)
Ketiga, Nafsu ammarah bis su’u [النفس الأمارة بالسوء]
Itulah nafsu yang selalu mengajak pemiliknya untuk berbuat dosa, melakukan yang haram dan memotivasi pemiliknya untuk melakukan perbuatan hina.
Allah sebutkan jenis nafsu ini dalam surat Yusuf,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53).
Tiga keadaan di atas, tergantung dari suasana jiwa. Artinya, jiwa manusia bisa menjadi muthmainnah, dalam sekejap dia juga bisa berubah menjadi lawwamah, dan juga bisa langsung berubah menjadi ammarah bis suu’.
Sebagian ulama membuat perumpamaan tentang interaksi nafsu ini. Diantaranya perumpamaan yang disampaikan Imam al-Ajurri – Ahli hadis dan sejarah dari Baghdad wafat: 360 H –
Dalam kitabnya ‘Adabun Nufus’, beliau mengatakan,
وأنا أمثل لك مثالا لا يخفى عليك أمرها إن شاء الله
Saya akan sampaikan permisalan untuk anda, insyaaAllah masalah nafsu tidak lagi samar bagi anda.
Kemudian beliau mulai menjelaskan,
اعلم أن النفس مثلها كمثل المهر الحسن من الخيل ، إذا نظر إليه الناظر أعجبه حسنه وبهاؤه ، فيقول أهل البصيرة به : لا ينتفع بهذا حتى يراض رياضة حسنة ، ويؤدب أدبا حسنا ، فحينئذ ينتفع به ، فيصلح للطلب والهرب ، ويحمد راكبه عواقب تأديبه ورياضته. فإن لم يؤدب لم ينتفع بحسنه ولا ببهائه ، ولا يحمد راكبه عواقبه عند الحاجة
Pahamilah bahwa nafsu itu seperti anak kuda jantan (colt) yang sangat bagus. Setiap kali ada orang yang melihatnya, pasti terkagum dengan keindahan dan bagusnya. Hingga seorang ahli kuda berkomentar,
‘Kuda bagus ini tidak berarti sama sekali sampai dia dilatih dan diajari dengan baik. Barulah setelah itu dia bisa dimanfaatkan dengan baik, sehingga bisa dipakai untuk menyerang atau berlari kencang. Dan yang menunggang akan merasa puas dari hasil latihannya. Jika tidak dilatih dengan baik, maka keindahannya sama sekali tidak akan memberikan manfaat, dan penunggangnya tidak akan merasa puas ketika menggunakannya.
Beliau melanjutkan,
فإن قيل صاحب هذا المهر قول أهل النصيحة والبصيرة به ، علم أن هذا قول صحيح فدفعه إلى رائض فراضه . ثم لا يصلح أن يكون الرائض إلا عالما بالرياضة ، معه صبر على ما معه من علم الرياضة ، فإن كان معه بالرياضة ونصحه انتفع به صاحبه ، فإن كان الرائض لا معرفة معه بالرياضة ، ولا علم بأدب الخيل ، أفسد هذا المهر وأتعب نفسه ، ولم يحمد راكبه عواقبه
Jika pemilik anak kuda ini memberikan perawatan dengan semangat baik dan paham keadaan, lalu dia serahkan ke orang yang ahli dalam merawat, dan dia tidak memilih perawat kecuali orang yang memiliki kemampuan dalam merawat dan kesabaran, lalu kuda itu dirawat dengan baik, maka akan bermanfaat bagi pemiliknya. Namun jika perawat tidak memiliki pengetahuan dalam merawat, tidak paham tentang mengajari kuda, maka dia akan merusak anak kuda itu dan justru membuat lelah dirinya. Sehingga tidak ada komentar baik orang yang menunggangnya.
وإن كان الرائض معه معرفة الرياضة والأدب للخيل إلا أنه مع معرفته لم يصبر على مشقة الرياضة ، وأحب الترفيه لنفسه ، وتوانى عما وجب عليه ، من النصيحة في الرياضة ، أفسد هذا المهر ، وأساء إليه ، ولم يصلح للطلب ، ولا للهرب
Ketika yang merawat memahami teknik merawat dan melatih kuda, hanya saja dia kurang sabar dalam menghadapi kesulitan ketika melatih kuda, sukanya hanya bermain, dan suka menunda-nunda apa yang menjadi tugas dalam melatih kuda, maka justru akan merusak anak kuda ini, sehingga nantinya tidak bisa digunakan untuk menyerang atau berlari kencang. (Adab an-Nufus, hlm. 15)
Demikian, Allahu a’lam

Makna Laa Ilaaha Illallaah

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Kalimat ini ringkas, namun menjadi titik sengketa antara umat islam dengan kaum musyrikin. Kalimat yang menjadi pemisah antara islam dan kesyirikan. Kalimat yang hanya terdiri dari 3 huruf: alif, lam, dan ha, namun mengubah suasana dunia.
Sebelum mengkaji tinjauan makna kalimat ini, kami hendak menegaskan bahwa orang musyrikin yang menjadi musuh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam paham akan makna kalimat laa ilaaha illallah.
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah, beliau mengajak masyarakat Quraisy dan sekitarnya untuk mengikrarkan kalimatLaa ilaaha illalaah..
Dari Rabi’ah bin Ibad ad-Daili, beliau menceritakan,
Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangku di pasar Dzil Majaz, sambil mendakwahkan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، تُفْلِحُوا
Wahai sekalian manusia, ucapkanlah Laa ilaaha illallah, kalian akan mendapat kesuksesan. (HR. Ahmad 16023, Ibnu Hibban 6562 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Kita bisa perhatikan, bagaimana respon masyarakat terhadap ajakan beliau?
Mereka rela berpisah dengan keluarganya, anaknya, istrinya demi memusuhi kalimat ini.
Mereka rela keluar tenaga, demi menghalau tersebarnya kalimat ini.
Bahkan mereka siap untuk berkorban nyawa, demi melawan kalimat tauhid ini.
Kita tahu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang dikenal sangat baik, sebelum jadi nabi dan setelah jadi nabi. Namun mengapa ajakan beliau ditentang habis-habisan oleh mereka.
Apa susahnya bagi mereka untuk hanya mengucapkan laa ilaaha illallah?.
Namun mereka lebih memilih pertumpahan darah dari pada harus mengucapkan kalimat tauhid itu. Dengan kompak mereka menuduh ajakan Nabi Muhammad sebagai ajakan yang aneh,
أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
Apakah Muhammad hendak menjadikan tuhan yang beraneka ragam itu menjadi satu tuhan saja. Sungguh ini ajakan yang sangat aneh. (QS. Shad: 5)
Ini semua menunjukkan bahwa orang musyrikin quraisy paham akan makna kalimat itu. Mereka juga paham akan konsekuensi ketika orang mengucapkan kalimat itu. Mereka sadar, kalimat ini sangat bertentangan dengan keyakinan mereka. Karena itulah, keyakinan mereka menjadi indikator untuk memahami makna kalimat tauhid ini.

Orang Musyrikin Mekah Beriman Akan Keberadaan Allah

Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang musyrikin Mekah, mereka mengenal Allah. Mereka mengimani keberadaan Allah. Bahkan mereka juga mengimani bahwa Allahlah yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini.
Kita bisa lihat, ayah Nabi Muhammad, namanya Abdullah. Dari mana mereka tahu nama itu, padahal Nabi Muhammad belum diutus? Tentu saja jawabannya, karena orang jahiliyah telah mengenal Allah.
Al-Quran juga menceritakan aqidah dan keyakinan mereka tentang Allah. Diantaranya, Allah berfiirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنْ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنْ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنْ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. (QS. Yunus: 31)
Kemudian di surat al-Mukminun secara berturut-turut di banyak ayat, Allah menceritakan aqidah mereka,
قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ . سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” . Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?”
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ . سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?”
قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ . سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?”
Allah juga menyebutkan bahwa mereka mendekatkan diri kepada sesembahan itu, agar doa dan keinginan mereka lebih cepat dikabulkan oleh Allah.
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai wali (sasaran pemujaan), mereka mengatakan, “Tidaklah kami beribadah kepada mereka, selain agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah lebih dekat lagi.” (QS. az-Zumar: 3).
Tentu saja masih banyak dalil yang menyebutkan masalah ini, dan beberapa ayat di atas kita anggap sudah mencukupi.
Dari sini kita memahami bahwa orang musyrikin Quraisy meyakini,
Allah itu ada
Allah Maha Kuasa
Allah yang menciptakan, yang memiliki, dan yang mengatur alam semesta beserta isinya.
Dan mereka memberikan pemujaan kepada selain Allah, agar yang dipuja itu mengantarkan doa mereka kepada Allah.

Makna ‘Laa ilaaha illallaah’ yang Salah

Dengan bermodal pemahaman di atas, kita bisa mengoreksi kesalahan yang diyakini sebagian masyarakat terkait makna kalimat laa ilaaha illallah. Banyak kita dengar, mereka memaknai kalimat ini dengan,
Tidak ada yang berkuasa selain Allah,
Tidak ada wujud yang haqiqi selain Allah,
Tidak ada pengatur alam semesta selain Allah,
Tidak ada penguasa abadi selain Allah.
Kita semua sepakat kalimat-kalimat ini benar. Namun ketika kalimat ini diyakini sebagai makna laa ilaaha illallah, jelas ini kesalahan. Karena konsekuensi pemaknaan ini bertentangan dengan aqidah orang musyrikin Quraisy.
Jika makna laa ilaaha illallah adalah Tidak ada yang berkuasa selain Allah, Tidak ada wujud yang haqiqi selain Allah, Tidak ada pengatur alam semesta selain Allah, Tidak ada penguasa abadi selain Allah, anda bisa pastikan orang musyrikin Quraisy akan setuju dengan ajakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ini sesuai dengan apa yang diyakini masyarakat jahiliyah.
Untuk mengajak mereka agar mengakui tiada  penguasa abadi selain Allah, tiada  pengatur alam semesta selain Allah, tidak perlu sampai harus terjadi pertumpahan darah.

Konsekuensi dari Kesalahan Memahami Laa ilaaha illallah

Ketika kesalahan ini hanya berada dalam tataran wacana, mungkin masalahnya lebih ringan. Karena yang menyedihkan, beberapa pelaku perbuatan kesyirikan dari zaman ke zaman, menjadikan kesalahan ini sebagai alasan pembenar untuk perbuatan mereka.
Banyak pemuja kubur, pelaku perdukunan dan klenik, sampai pecandu kejawen, mereka kekeuh menolak untuk disebut melakukan kesyirikan, karena mereka masih meyakini bahwa yang kuasa hanyalah Allah. Selama kami meyakini bahwa hanya Allah yang mengatur alam semesta, yang memberi rizki hanya Allah, yang menciptakan dan menghidupkan hanya Allah, maka kami masih berpegang dengan Laa ilaaha illallah.
Anda buktikan ini dengan mewawancarai para pemuja kuburan, pasien dukun, bahkan dukunnya sendiri, para pemuja kuburan, termasuk mereka yang menjalani lelakon untuk mendapatkan kanuragan. KTPnya muslim, dan mereka menganggap dirinya masih muslim, selama mereka masih mengakui Allah itu ada dan masih mengucapkan Laa ilaaha illallah.
Subhanallah…
Andai mereka berada di zaman Nabi, mungkin semua sahabat akan menyebutnya orang munafik. Beda yang diucap dengan apa yang diperbuat. Mengaku muslim, tapi perbuatannya tidak berbeda dengan  orang musyrik.

Makna Laa Ilaaha Illallah yang Benar

Menyadari realita di atas, semata mengucapkan laa ilaaha illallah tanpa mengamalkan konsekuensinya, tidak memberikan pengaruh apapun. Karena kalimat tauhid tidak hanya untuk diucapkan. Namun sejauh mana kita bisa mengamalkan. Karena itu, orang yang mendapatkan jaminan surga dengan laa ilaaha illallah, adalah mereka yang memahami makna dan konsekuensinya serta menerapkannya dalam hidupnya.
Dari Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui bahwa sesungguhnya tiada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah maka akan masuk Surga”. (HR. Muslim 145)
Mari kita simak penjelasan singkat makna kalimat tauhid yang mulia ini,
Laa Ilaaha Illallah tersusun dari 3 huruf: [ا – ل – ه], dan terdiri dari 4 kata: Laa, Ilaha, illa dan Allah [لا اله الا الله].
Kita bisa uraikan sebagai berikut:
Pertamakata Laa
Disebut laa nafiyah lil jins (huruf lam yang berfungsi meniadakan keberadaan semua jenis kata benda setelahnya). Misalnya kata: “Laaraiba fiih” (tidak ada keraguan apapu bentuknya di dalamnya). Artinya meniadakan semua jenis keraguan dalam al-Quran.
Sehingga laa dalam kalimat tauhid bermakna meniadakan semua jenis ilaah, dengan bentuk apapun dan siapapun dia.
Kedua, kata Ilah
Kata ini merupakan bentuk mashdar (kata dasar), turunan dari kata: aliha – ya’lahu [ألـه – يألـه] yang artinya beribadah. Sementara katailaahun [إلـه] merupakan isim masdar yang bermakna maf’ul (obyek), sehingga artinya sesembahan atau sesuatu yang menjadi sasaran ibadah.
Jika kita gabungkan dengan kata laa, menjadi laa ilaaha [لا إلـه], maka artinya tidak ada sesembahan atau sesuatu yang menjadi sasaran ibadah, apapun bentuknya.
Ketiga, kata Illa
Ilaa artinya kecuali. Disebut dengan huruf istitsna’ (pengecualian) yang bertugas untuk mengeluarkan kata yang terletak setelah illa darihukum yang telah dinafikan oleh laa.
Sebagai contoh,  ‘Laa rajula fil Masjid illa Muhammad’,
Tidak ada lelaki apapun di masjid, selain Muhammad. Kata Muhammad dikeluarkan dari hukum sebelum illa yaitu peniadaan semua jenis laki-laki di masjid.
Keempat, kata Allah
Dialah Sang Tuhan, dikenal oleh makhluk melalui fitrah mereka. Karena Dia Pencipta mereka.
Sebagian ahli bahasa mengatakan, nama Allah [الله] berasal dari kata al-Ilah [الإلـه]. Hamzahnya dihilangkan untuk mempermudah membacanya, lalu huruf lam yang pertama diidhgamkan pada lam yang kedua sehingga menjadi satu lam yang ditasydid, lalu lam yang kedua dibaca tebal. Sehingga dibaca Allah. Demikian pendapat ahli bahasa Sibawaih.
Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan maknanya,
الله وحده هو المعبود المألوه الذي لا يستحق العبادة سواه
“Allah Dialah al-Ma’bud (yang diibadahi), al-Ma’luh (yang disembah). Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia”. (Madarij as-Salikin, 3/144).
Dari keterangan di atas, ulama menyebutkan rukun kalimat laa ilaaha illallaah ada 2 (at-Tauhid li anNasyiin, hlm. 30):
Pertamaan-Nafyu (peniadaan)
Rukun ini diwakili kalimat laa ilaaha. Makna rukun ini, bahwa orang yang mengikrarkan laa ilaaha illallah harus mengingkari semua bentuk sesembahan dan sasaran ibadah apapun bentuknya. Baik dia manusia, benda mati, orang soleh, nabi, maupun Malaikat. Tidak ada yang berhak untuk dijadikan sasaran ibadah. Ketika seseorang beraqidah ateis, berarti dia tidak mengakui penggalan pertama kalimat tauhid:laa ilaaha.
Kedua, al-Itsbat (penetapan)
Rukun ini mewakili kalimat illallaah. Artinya, orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah harus mengakui satu-satunya yang berhak dijadikan sasaran beribadah adalah Allah. Sehingga dia harus beribadah kepada Allah. Dan ketika dia tidak mau beribadah, berarti dia belum mengakui Allah sebagai tuhannya.
Dua rukun inilah yang Allah tegaskan dalam al-Quran,
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
Siapa yang ingkar terhadap thagut, dan beriman kepada Allah, berarti dia berpegang dengan tali yang kuat (QS. al-Baqarah: 256).
Makna kata Thaghut: segala sesembahan selain Allah
Dan arti kata tali yang kuat adalah laa ilaaha illallah
Sehingga makna ayat, siapa yang menginkari semua bentuk sesembahan dan hanya mengakui Allah sebagai sasaran peribadatannya, berarti dia telah mengikrarkan laa ilaaha illallah dengan benar.
Allah juga tegaskan di ayat yang lain,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”. (QS. An-Nisa: 36)
Kita bisa lihat penolakan orang kafir terhadap dakwah Laa ilaaha illallah,
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ . وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آَلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Sesungguhnya mereka apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” maka mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: Apakah kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami hanya karena seorang penyair gila?”. (QS. Ash-Shoffat : 35-36)
Ketika ada orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah namun dia masih rajin berbuat syirik, mengagungkan kuburan, gandrung dengan perdukunan, aktif sedekah bumi, larung di laut, berarti perbuatannya bertentangan dengan apa yang dia ikrarkan. Karena dia mempertuhankan selain Allah, meskipun hanya dengan satu ibadah.
Dan kita patut memahami, ibadah itu beraneka ragam. Tidak hanya berbentuk sujud atau shalat. Contoh ibadah yang sering diberikan kepada makhluk adalah memberikan sesajian, seperti sedekah bumi, larung kepala hewan, tanam kepala hewan di jembatan, dst.
Demikian pula berdoa. Banyak orang yang gandrung dengan kuburan, mereka berbondong-bondong ke kuburan ketika mereka merasa punya hajat. Jika tidak ada kepentingan, mereka tidak datang ke kuburan. Ini semua indikasi kuat bahwa mereka hendak menyampaikan doa di kuburan. Jika itu ditujukan kepada penghuni kubur, berarti itu penyembahan kepada selain Allah.
Meskipun mereka shalat, mereka puasa, bahkan haji, namun ketika mereka memberikan satu peribadatan saja kepada selain Allah, berarti amal mereka menyimpang dari kalimat tauhid.

Mengucapkan Laa ilaaha illallah Tapi Tidak Beramal

Ini kebalikan dari yang pertama. Penyakit kedua yang dialami sebagian masyarakat, ada yang beralasan dengan laa ilaaha illallah namun dia sama sekali tidak pernah beramal. Tidak shalat, tidak puasa, tidak peduli dengan agamanya. Ketika diingatkan, dia beralasan, yang penting saya masih punya laa ilaaha illallah.
Kasus semacam ini pernah terjadi di zaman ulama Tabiin Wahb bin Munabbih (w. 114 H). Ada seseorang yang bertanya kepada beliau,
“Bukankah laa ilaaha illallah adalah kunci surga.”
Maksud orang ini, yang penting orang sudah mengucapkan laa ilaaha illallah, dia terjamin masuk surga, sekalipun dia tidak beramal.
Kemudian dijawab oleh Imam Wahb bin Munabih,
بلى ولكن ليس من مفتاح إلا له أسنان فإن أتيت بمفتاح له أسنان فتح لك وإلا لم يفتح
“Benar, laa ilaaha illallah adalah kunci surga. Namun bukankah setiap kunci harus punya gigi. Jika kamu membawa kunci yang ada giginya, dibukakan surga untukmu, jika tidak ada giginya, tidak dibukakan surga untukmu.” (HR. Bukhari secara Muallaq sebelum hadis no. 1237 dan disebutkan Abu Nuaim secara Maushul dalam al-Hilyah 4/66).
Agar laa ilaaha illallah diterima, anda harus beramal.

Arti yang Tidak Tepat

Kita sering mendengar orang mengartikan, laa ilaaha illallah dengan tiada tuhan selain Allah. Mungkin pemaknaan ini perlu diluruskan.
Ketika kita mendengar ungkapan, tiada roti kecuali enak, berarti semua roti enak. Seperti itu pula kalimat
“Tiada Tuhan selain Allah”. Konsekuensi terburuknya, berarti setiap yang disembah oleh manusia, itulah Allah. Maha suci Allah dari yang demikian.
Karena itulah, para ahli bahasa meluruskan bahwa laa nafiyah lil jins pada kalimat laa ilaaha illallah butuh khabar (predikat). Pada kalimatlaa ilaaha [لا إلـه], kata ilaah sebagai isim laa, sementara khabar laa (predikatnya) mahdzuf (tidak dimunculkan), yang jika dinyatakan berwujud kata haqqun [حَقٌّ]. Sehingga jika kita baca lengkap menjadi: laa ilaaha haqqun illallaah, yang artinya Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. (At Tanbihaat Al Mukhtasharah, Ibrahim al-Khuraishi)
Di sekitar kita banyak tuhan. Semua yang disembah oleh orang kafir, itulah tuhan mereka. Namun semua itu tidak berhak disembah. Satu-satunya yang berhak disembah hanya Allah.
Makna seperti ini yang diajarkan dalam al-Quran,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ
“Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil” (QS. al-Hajj : 62)
Allahu a’lam
Sumber: konsultasisyariah.com

Baca Juga :
Ternyata Tumbuhan Bertasbih Kepada Allah
Wanita Muslim Yang Ikut Merubah Sejarah Dan Menjadi Inspirasi Dunia
Adab Bertamu Dan Menerima Tamu Dalam Islam
5 Fitrah Pada Manusia
Kisah Sahabat Nabi Muawiyah bin Haidah RA