Wednesday 6 September 2017

Jadilah Pribadi Sederhana

Seorang guru pernah bercerita perbedaan pandangan bagaimana menjadi pribadi sederhana. Satu orang mengatakan, sederhana itu seperti Nabi yang hidup dengan tidak begitu mementingkan duniawi. Bila tiba harta di tangannya, tak sampai esok semua harta itu telah habis dibagikan.

Satu lagi mengatakan, Nabi itu makannya kurma terbaik, minumnya susu kambing, konsumsinya daging kambing terbaik, pakaiannya pun wangi dan kendaraannya pun paling gagah.

Perbedaan sudut panang tentang sederhana itu pun terus berlangsung dan tidak ditemukan titik temu tentang bagaimana sebenarnya menjadi pribadi yang sederhana.

Namun, menurut Buya Hamka dalam bukunya Falsafah Hidup, orang yang sederhana adalah orang yang tidak terlalu condong, tidak juga terlalu rebah.

“Syahwat yang dibolehkan syara’ sekalipun, tidaklah melebihi mesti, ketika mengambil kesempatan dari keharusan itu. Misalnya boleh memakan makanan yang enak! Mentang-mentang harus (boleh) tidaklah dilahapnya lebih dari kekuatan perutnya” (halaman 168).

Lebih lanjut pengarang Tafsir Al-Azhar itu menegaskan, “Dibolehkan oleh syara’ beristri sampai berempat, asal saja sanggup, adil, dan mampu. Mentang-mentang mampu dia lupa kesanggupan dan keadilan, dia hanya ingat pada kemampuan, lalu dia beristri dua, tiga, dan empat, salah sedikit ceraikan satu, tingggalkan dua, ganti lagi, cari pula janda muda atau perawan yang lain. Akhirnya tidak ada kesempatan lagi baginya untuk mengurus rohaninya, hidup, jiwa, dan ibadahnya kepada Tuhan. Hanyalah mengurus giliran malam para istrinya. akhirnya anak-anaknya kocar-kacir.”

Islam menghendaki kehidupan yang sederhana, yang oleh Buya Hamka bisa disebut dengan istilah “istiqomah” yang berarti tegak lurus di tengah-tengah. Dan, “i’tidal” yang berarti sama berat.

Buya Hamka pun memberikan tuntunan bagaimana agar bisa menjadi pribadi sederhana, yakni dengan menjadi pribadi yang jujur.

“Kita harus jujur. Karena kejujuran itulah yang sederhana dan yang lurus. Kita tidak boleh bohong, kita mesti lurus, tak boleh menipu. Kita tidak boleh royal dan tidak boleh bakhil. Kita tidak boleh terlalu pendorong dan kita tidak boleh pengecut. Karena semuanya itu merusakkan tali hubungan kita dengan Allah dan dengan insan. Dan menghilangkan sederhana” (halaman 171).

Dengan demikian, sederhana dalam pribadi Nabi adalah hidup yang seimbang, sama berat, dan tegak lurus di atas landasan syariat. Apapun yang beliau lakukan adalah semata-mata menjalankan titah Ilahi, memberikan keteladanan yang ideal, sehingga tidak ada orang miskin yang bersedih karena Nabi orang yang pernah kaya raya. Juga tidak ada orang kaya yang merasa rugi, hanya karena Nabi pernah tidak makan hingga diganjal perutnya dengan batu.

Semua kondisi, kaya atau miskin disikapi secara sederhana alias tegak lurus dan sama berat. Prinsipnya bagaimana kemiskinan tetap menguatkan ketaqwaan. Dan, kekayaan tidak merusak ketaqwaan kepada Allah Ta’ala.

Buya Hamka kembali memberikan penjelasan. “Yang akan disederhanakan ialah iat dan tujuan, bukan bekas keluar. Banyak orang menyangka, lantaran seseorang berpakaian yang koyak dan murah atau rumahnya kurang indah, orang itu dikatakan sederhana. Kalau dari sana hendak diukur kesederhanaan, kita tidak akan bertemu hakikat yang sebenarnya.

Kita tidaklah dapat berpedoman kepada yang lahir menunjukkan kesederhanaan. Banyak orang-orang kaya yang termasyhur, terpandang, terkemuka dalam masyarakat. banyak pula penulis, penganjur, pengarang dan ahli seni yang tidak memperdulikan pakaiannya, rumah tangganya. Bukan karena loba tamak kepada uang dan ingin mengumpul-ngumpulkan harta. Bukan pula karena bakhil, tetapi oleh karena tidak sampai pikirannya hendak menimbang perkara-perkara yang berkecil-kecil.

Bagi mereka asal sudah dapat berkhidmat kepada umum, walaupun pakaian dan kediaman itu tidak bagus kelihatannya, sehingga tidak sepadan dengan kedudukannya yang ditinggikan orang, semuanya itu tidaklah menjadi kenangan kepada mereka.” 

Oleh karena itu, sederhana bukan pada bentuk lahir, bukan pada kemestian orang kaya dan masyhur saja, bukan pula kemestian si fakir dan papa saja. “(Tetapi) sederhana niat, sederhana tujuan, ialah tujuan segala manusia yang berakal,” tegas Buya Hamka (halaman 172).

Oleh karena itu, perhatikanlah kesederhanaan pada hal-hal berikut ini.

Pertama, sederhana dalam niat

“Tidak usah berniat hendak jadi raja. Tidak perlu bercita-cita jadi orang berpangkat dengan gaji besar, akan mengharapkan bintang yang akan dihiaskan di dada. yang perlu ialah meluruskan niat.

Sebagai makhluk hidup, kita harus berjasa kepada kehidupan. sebgai laki-laki kita harus tegak pada garis laki-laki. Sebagai manusia, kita harus mempunyai kemanusiaan. Jika telah cukup kemanusiaan, walaupun kaya atau papa, termasyhur atau tidak terkenal, semuanya hanya warna hidup belaka, bukan hakikat hidup. Hakikat hidup ialah, tujuan, niat suci dan sederhana itu.”

Kedua, sederhana dalam berpikir

“Supaya tercapai tujuan niat yang suci itu, dan teratur urusan hidup kita, tercapai keselamatan hidup di dunia yang fana, menjelang akhirat yang baka, hendaklah kita mementingkan pikiran kita sendiri.

Pikiran yang matang dapat membedakan yang gelap dengan yang terang, yang hak dengan yang batil. Dapat membuang jauh-jauh pendapat yang salah dan pendirian yang curang. Kalau tidak dengan pikiran yang teratur beres, tidaklah lahir kemanusiaan yang sempurna dan tidak pula akan maju langkah menuju kemuliaan dan ketinggian.

Yang amat berbahaya bagi hidup ialah pikiran yang tidak tegak sendiri, yang hanya berlindung atau terpengaruh oleh pikiran orang lain. Kekuatan hanya apabila ditolong orang lain. Tidak dapat dibiarkan hidup sendiri. Tak ubahnya dengan rumput yang tumbuh di bawah naungan pohon beringin, hidup segan mati tak mau, sebab dia tidak mendapat cahaya yang langsung dari matahari.”

Jadi, berpikirlah sederhana dan selalulah menjaga tiga hal, yakni tawakkal kepada Allah, menghidupkan cita-cita dalam hati, dan berbaik sangka kepada sesama manusia.

Ketiga, sederhana keperluan hidup.

Buya Hamka menuliskan hal ini, “Dapat makan dua kali sehari, pakaian dua persalinan, rumah yang cukup udaranya untuk tempat diam, dapat menghisap udara dan bergerak, kita sudah dapat hidup. Cuma nafsu jugalah yang meminta lebih dari itu, sehingga di dalam memenuhi keperluan hidup, kerapkali manusia lupa akan kesederhanaan” (halaman 189).

Selanjutnya dijelaskan, “Kalau kita perturutkan saja kehendak nafsu, tidak kita beri batas perjalanannya supaya sederhana, tidaklah nafsu itu akan berujung. Padahal jika kita terima apa yang ada, sabar dan tahan hati, dan berusaha menghindarkan pengangguran, maka nafsu itu akan menerima berapapun yang ada.”

Kemudian, Buya Hamka memberikan ilustrasi, “Binatang apabila telah kenyang perutnya, akan terus tidur, istirahat. Tetapi manusia, walaupun telah kaya, bertambah kaya, bertambah tidak senang hidupnya. Bahkan bertambah tamak dan lobanya, bertambahlah sayang akan bercerai dengan harta.”

Dengan sederhana seperti itu seseorang akan selamat dari jeratan hawa nafsu, memburu yang semu dan menanggalkan yang hakiki. Oleh karena itu, sederhanalah dalam hidup, karena sederhana itulah yang dibutuhkan semua manusia, dan sangat penting untuk dididikkan kepada generasi muda. Wallahu a’lam.

No comments:

Post a Comment