Sunday 12 March 2017

Kemuliaan untuk Membangun Gaya Hidup Sederhana

Di dalam paham kapitalis, kebahagiaan selalu diukur dengan banyak sedikitnya materi yang dimiliki. Bahkan saat ini, sebagian kalangan masyarakat terkesan berpikir bahwa hidup belumlah sah atau lengkap apabila belum memiliki berbagai atribut kemewahan.

Meski sudah hidup dengan layak, namun masih banyak yang merasa belum cukup. Hidup dengan sederhana sepertinya bukan lagi impian atau sudah tidak lagi dianggap ideal. Dan, kalaupun ada yang hidup dengan cara sederhana, hal itu semata – mata karena memang keadaan yang memaksa mereka untuk seperti itu.

Saat ini, budaya hura – hura dan konsumtif sepertinya telah menjadi satu budaya bahkan sudah sangat mengakar di kehidupan manusia. Mimpi dan keinginan untuk dapat hidup mewah sepertinya bukan lagi melanda kalangan menengah ke atas saja namun golongan kurang mampu pun juga ingin bermewah – mewahan.

Akibatnya, keadaan hidup mereka yang sudah kekurangan, menjadi semakin kekurangan karena gaya hidup yang mereka jalani tidak sesuai dengan penghasilan yang mereka dapatkan. Mereka rela berhutang ke sana ke mari hanya untuk memenuhi keinginan mereka hidup bermewah – mewah. Sehingga, bisa dikatakan bahwa kemewahan bukan lagi sekadar ajang pamer materi namun sudah berubah menjadi satu ajang untuk memanipulasi suatu keinginan sehingga menjadikannya sebuah keharusan demi hanya untuk meraih satu kepuasan.

Hal itulah yang kemudian mendorong orang untuk rela berhutang dan yang lebih parah lagi melakukan korupsi maupun mencari rezeki dengan cara – cara haram.

Perilaku hidup sederhana sangat bertentangan dengan pola hidup konsumerisme. Dalam pola hidup konsumerisme, kebahagiaan individu hanya bisa dicapai dengan cara mengkonsumsi, memiliki dan membeli apapun yang diinginkan meski hal itu melebihi batas kemampuan dasar yang dimiliki.

Dalam ajaran Islam, kita diajarkan untuk membelanjakan harta tidak secara berlebihan dan di sisi lain, kita juga dilarang untuk kikir. Hal itu secara jelas tercantum di dalam al-Qur’an surat al-Furqaan ayat 67. Di dalam surah al-Humazah ayat 1-9, dijelaskan pula bahwa Islam mengecam orang – orang yang menimbun harta. Allah bahkan mengancam mereka dengan neraka Huthamah.

Di salam surah at-Taubah ayat 34, Allah berfirman bahwa mereka yang senang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, akan diberi siksaan yang pedih dan menyakitkan.

Berdasarkan dalil – dalil tersebut di atas, kita dapat mengambil satu kesimpulan bahwa kita sebagai manusia harus senantiasa waspada dengan apa yang kita miliki. Kita dilarang untuk melakukan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah, termasuk di dalamnya hidup berlebih – lebihan , boros dalam membelanjakan harta, bermain – main dengan harta dan kita juga dituntut untuk membelanjakan harta yang kita miliki di jalan Allah.

Nabi adalah suri tauladan yang paling tepat bagi kita umat Islam. Selama hidupnya, meski beliau dikenal sebagai seorang pedagang yang sukses, namun beliau senantiasa hidup dengan sederhana.

Segala yang dimilikinya, mulai dari sandang, papan, pangan dan segala kebutuhan pokok yang dimiliki penuh dengan kesederhanaan. Bahkan beliau dikenal mampu mengontrol pembelanjaan Negara. Keempat khalifah yang menggantikan beliau pun juga memberikan contoh kepada kita untuk selalu hidup sederhana dan tidak bermewah – mewahan.

Sekali lagi, rasulullah SAW hidup sederhana bukan karena beliau miskin. Beliau bisa saja hidup dengan mewah kalau mau. Seperti yang banyak diriwayatkan, beliau mampu memberi kambing sebanyak 1 bukit kepada seorang pemimpin suku yang masuk Islam, yakni Malik bin Auf. Kesederhanaan beliau membuat beliau dapat memaksimalkan harta yang beliau miliki untuk kesejahteraan rakyat, jihad dan kepentingan dakwah.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:

“ Makanlah dan minumlah dan bersedekahlah, tanpa berlebihan dan tidak sombong”. (HR Ahmad).

“Barang siapa mengenakan pakaian sutera di dunia, maka ia tidak akan memakainya di akhirat”. (HR Muslim).

“Janganlah kalian minum di bejana emas dan perak, janganlah kalian makan di piring emas dan perak, karena emas dan perak itu milik mereka (orang – orang kafir) di dunia dan milik kalian di akhirat”. (diriwayatkan oleh Muslim, al-Bukhari, Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i, at-Timidzy serta Ibnu Majah).

Baca Juga :
Definisi dan Pengertian Sukses Menurut Islam
Lima Muslimah Tercantik Dari Negara Minoritas Islam
Definisi Thahara dan Macamnya
Macam-Macam Benda Najis dan Cara Membersihkannya
5 Fitrah Pada Manusia

No comments:

Post a Comment