Friday, 8 April 2016

Keutamaan & Tatacara Shalat Berjama'ah

Shalat berjamaah diperintahkan oleh Nabi SAW dengan penekanan khusus. Para alim-ulama Islam semenjak awal sejarahnya telah mencoba menyelami alasan di balik itu. Ini bukan karena sekadar mencari pembenar untuk meyakin-yakinkan diri sendiri. Melainkan karena gairah untuk lebih memahami rahasia di balik perintah Rasul yang maksum itu. Kita di zaman modern ini ternyata masih saja bisa menemukan makna itu lewat aneka bentuk pengkajian — termasuk melalui media seperti ini.

Selama hidupnya Nabi SAW selalu menyerukan ditegakkannya shalat. Padahal, perintah shalat dalam ayat-ayat Al Quran juga seolah diucapkan dalam satu tarikan nafas dengan perintah bersedekah. Tidak kurang ada 25 tempat dalam Al Quran yang menyerukan shalat setarikan nafas dengan bersedekah, berzakat atau memberi kepada sesama. Dengan demikian secara implisit Al Quran menggariskan adanya “fungsi sosial” dari shalat seperti itu.

Karena melihat fakta demikian, dapat dimaklumi bahwa shalat yang benar haruslah dilakukan secara berjamaah. Sebab, untuk menunaikan perintah lanjutan yang sangat erat kaitannya dengan perintah shalat —yakni bersedekah atau memberi kepada sesama itu— maka shalat harus dilakukan secara berjamaah. Sudah tentu dengan cara ”berjamaah yang berkualitas”.

Nabi Geram Kepada yang Tidak Berjamaah

Dalil tentang keutamaan shalat berjamaah kita peroleh dari hadits Ibnu Umar, yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
… صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً

”Shalat jama’ah melebihi shalat sendirian dengan (pahala) dua puluh tujuh derajat.” (Muttafaqun ‘alaih Fathul Bari II: 131 nomor 645; Muslim I: 450 nomor 650; Tirmidzi I: 138 nomor 215; Nasa’i II nomor 103 dan Ibnu Majah I: 259 nomor 789).

Tentu saja masih banyak hadits yang mendukung itu, baik tentang besaran pahala, maupun keutamaan yang lain. Tentang besaran pahala, ada hadits sahih yang menyebut angka 25 derajat. Apapun halnya, angka-angka itu menunjukkan kelebihan shalat berjamaah yang jauh di atas shalat yang dilaksanakan secara soliter. Tidak salah pula kiranya kalau angka itu tidak dipahami secara eksak-matematis, melainkan dalam pengertian kiasan, yang pada intinya menunjukkan keutamaan luarbiasa dari shalat berjamaah.

Ada hadits Nabi yang memperlihatkan betapa junjungan kita itu merasa sangat geram manakala umatnya shalat sendiri-sendiri.

Rasulullah saw. bersabda, “Mau aku rasanya menyuruh orang untuk shalat… kemudian aku pergi bersama beberapa orang yang membawa kayu bakar untuk mendatangi mereka yang tidak ikut shalat dan membakar rumah-rumah mereka …. (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dengan lafal dari Muslim).

Tentu saja hadits tersebut sifatnya pengandaian; untuk menggambarkan betapa sungguh-sungguh seruan Nabi untuk berjamaah. Faktanya, sepanjang sejarah tidak sampai ada rumah yang dibakar Nabi karena alasan itu — bahkan untuk alasan lain manapun. Kaum muslimin sudah cukup diyakinkan dengan seruan Nabi yang dimuliakan mereka, atau cukup dengan pelbagai bentuk pahala yang dijanjikan, tidak sampai perlu dipaksa-paksa. Tentu saja ada pengecualiannya, yakni: kaum munafik.

Dalam variasi riwayat yang lain Nabi SAW melengkapi pengandaian itu dengan kalimat berikut: “… Shalat Isya’ dan shalat Fajar adalah shalat yang paling dirasakan berat bagi orang-orang munafik. Padahal kalau saja mereka tahu, niscaya mereka akan mendatangi masjid bahkan kalau perlu dengan merangkak sekalipun.”

Memang nyaris tidak ada perkecualian bagi setiap lelaki untuk berjamaah di masjid. Dalam kondisi apapun, setiap laki-laki hendaknya shalat berjamaah dengan dasar hukum sunnah muakadah (yang dikuatkan hingga mendekati wajib). Bahkan jika dia buta pun, tetap diharuskan untuk berjamaah di masjid. (Lihat boks: Ikuti Arah Kumandang Adzan.) . Untuk kaum perempuan, Nabi memberi kemudahan tidak harus berjamaah di masjid. Namun karena berjamaah itu nilainya 27 derajat lebih tinggi, maka sudah tentu perempuan pun harus menunaikannya —kendati itu dilaksanakan di rumah.
Jamaahnya di Mana?

Para laki-laki sudah tentu berjamaahnya di masjid. Hal itu lebih utama. Sementara bagi perempuan, hendaknya suaminya jangan sampai melarang jika mereka bermaksud berjamaah di masjid. Tuntunan Nabi tentang itu termaktub dalam hadits berikut:

“Janganlah kalian melarang para wanita (pergi) ke masjid dan hendaklah mereka keluar dengan tidak memakai wangi-wangian.” (HR. Ahmad dan Abu Daud, hadits shahih)

Dari situ kita tahu bahwa perempuan pergi ke masjid itu diseyogyakan manakala manfaatnya lebih besar atau kalau mudaratnya (dampak dari ‘memakai wangi-wangian’) bisa dihindarkan. Frasa “memakai wangi-wangian” dalam teks hadits itu hendaknya tidak dipahami harafiah; bukannya terlarang memakai parfum, melainkan harus dipahami sebagai “hal itu akan memberi dampak tertentu kepada orang lain (laki-laki)”. Kita tahu, parfum adalah peranti yang sangat efektif untuk menarik perhatian orang lain. Selain itu, jika tidak ditekankan demikian, ada kemungkinan terjadi jamaah saling berlomba mengenakan parfum. Bahkan di zaman sekarang pun, sudah tentu segi negatif dari hal ini akan segera tampak.

Dengan demikian, jika disesuaikan dengan konteks zaman kita sekarang, di mana keadaan sudah sangat kondusif, aman dan damai, maka perempuan shalat berjamaah di masjid merupakan keniscayaan. Namun perlu segera diingat bahwa ada hadits sahih yang menyitir sabda Nabi yang dinilai shahih oleh Abu Daud sebagai berikut:

“Janganlah kamu sekalian mencegah istri-istrimu pergi ke masjid, namun (ingat) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”
Tatacara Shalat Berjamaah

Bagaimana shalat jamaah dilaksanakan? Ada beberapa topik terkait dengan pelaksanaan shalat berjamaah, yakni: penetapan imam, posisi imam dan makmum, cara makmum menyusul karena terlambat (masbuq), ahlaq sebagai imam, ahlaq sebagai makmum terhadap imam, keutamaan setelah shalat.

Penetapan imam. Untuk menetapkan imam yang didahulukan ialah orang yang lebih banyak memiliki hafalan Al Quran dan lebih memahami hukum Islam. Apabila di kalangan para jamaah itu dinilai setara, maka didahulukan yang lebih pandai dan lebih mengetahui tentang sunnah-sunnah Nabi SAW. Kriteria lainnya adalah didahulukan orang yang lebih dahulu berhijrah. Apabila sama juga, maka didahulukan yang lebih tua usianya.
“Rasulullah SAW berkata kepada kami: “Hendaknya yang menjadi imam shalat suatu kaum adalah yang paling hafal al Qur`an dan paling baik bacaannya. Apabila dalam bacaan mereka sama, maka yang berhak menjadi imam adalah yang paling dahulu hijrahnya. Apabila mereka sama dalam hijrah, maka yang berhak menjadi imam adalah yang paling tua. Janganlah kalian menjadi imam atas seseorang pada keluarga dan kekuasaannya, dan jangan juga menduduki permadani di rumahnya, kecuali ia mengizinkanmu atau dengan izinnya” [HR Muslim]

Hadits di atas sekaligus menyebut adab shalat yang harus kita indahkan. Yakni, jangan menjadi imam terhadap keluarga seseorang kecuali orang itu mengijinkan atau meminta. Bahkan sekadar “menduduki permadani di rumah” seseorang pun hendaknya harus seijin si pemilik. Untuk yang terakhir ini, bisa saja itu dalam konteks shalat; namun bisa jadi tidak berkaitan dengan shalat.

Karena itu, khususnya dalam komunitas jamaah shalat baru (misalnya di suatu masjid yang jamaahnya semula tidak saling kenal) seseorang tidak boleh maju dan mengangkat diri sendiri, melainkan diangkat dan dipilih jamaahnya. Mengapa? Karena dengan maju mengangkat diri sendiri itu berarti dia menganggap dialah yang paling memenuhi kriteria imam seperti hadits di atas. Nah, bukankah itu jumawa? Akhlaq yang dituntunkan Nabi SAW mencegah kita berlaku demikian.
Jika Datang Telat Berjamaah

Adab yang dituntunkan Nabi SAW, kita datang ke masjid untuk berjamaah dengan suasana hati tenang dan tidak tergesa-gesa. Shalat pun diharuskan untuk tuma’ninah, tenang, las-lasan (bhs Jawa). Manakala shalat jamaah sudah didirikan, orang yang datang belakangan hendaknya juga tidak buru-buru, tidak perlu tergesa-gesa demikian rupa sehingga galau (kemrungsung – Jw).

Orang yang datang terlambat itu (disebut masbuq), berusaha bergabung dengan shalat jamaah yang sedang berlangsung dan tidak mendirikan shalat sendiri. Terlebih lagi kalau dia hanya sendirian. Untuk keadaan seperti ini sunnah Nabi menuntunkan sebagai berikut: Dia takbiratul ihram lebih dulu, lalu takbir untuk mengikuti gerakan yang paling mungkin dia ikuti. Kalau dia menemukan imam sudah sujud, maka dia langsung mengikuti imam — pendeknya dia mengikuti imam dalam keadaan imam sedang melakukan gerakan shalat apapun.

Kalau saja saat dia bergabung imam sudah dalam keadaan tahiyat akhir —sehingga tinggal menunaikan salam— maka dia langsung duduk bersimpuh tahiyat akhir. Namun ketika imam mengucap salam, dia tidak mengikuti salam, melainkan bangkit berdiri dan menggenapkan kekurangan jumlah rakaatnya. Jika dia bergabung tadi masih sempat mengikuti ruku’, maka dia dihitung sudah mengikuti 1 (satu) rakaat. Tapi kalau dia bergabung tepat saat imam mengucap “samiallahu liman hamidah”, maka itu belum dihitung satu rakaat. Jadi dia menggenapkan kekurangannya.


POSISI IMAM DAN MAKMUM DALAM SHALAT JAMAAH

Berdasar dalil Sunah Nabi SAW yang sahih dan makbulah, posisi imam dan makmum adalah sebagai berikut:

1. Jika imam dan makmum sama-sama laki-laki, dan makmum pun hanya seorang, maka dia berdiri di sebelah kanannya sejajar dengan posisi imam.


2. Jika imam laki-laki diikuti satu atau lebih jamaah perempuan, maka posisi makmum berada di belakang imam.


3. Jika imam dua orang atau lebih dan semuanya sama jenis kelaminnya: Makmum berdiri membentuk shaf di belakang imam. Shaf dibentuk dimulai tepat dari belakang imam, terus dipenuhi ke sebelah kanan, baru diteruskan dengan memenuhi sebelah kiri imam dan kirinya lagi sampai penuh.


4. Jika makmumnya laki-laki dan perempuan, maka makmum laki-laki di depan, lalu makmum perempuan di belakang makmum laki-laki. Ini berlaku untuk jumlah berapapun makmumnya. Cara menyusun shafnya dimulai dari tengah (tepat di belakang imam), lalu untuk lebih afdal dengan memenuhi dulu sisi kanan dari belakang imam diteruskan dari belakang imam ke kiri.


Imam perempuan jika diikuti oleh makmum perempuan mengikuti tatacara sebagai berikut:
Untuk makmum seorang, berdiri di sebelah kanan imam:
Untuk makmum perempuan lebih dari seorang dan bahkan dengan shaf yang lebih dari satu, posisi imam berada di tengah-tengah shaf pertama, lalu shaf berikutnya berjajar di belakangnya:


No comments:

Post a Comment