Thursday, 31 January 2019

Macam-Macam Nafsu dalam Al-Quran

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Dalam al-Quran, Allah menyebutkan nafsu dengan 3 sifat, yang ketiganya kembali kepada keadaan masing-masing nafsu.
Pertama, nafsu muthmainnah [النفس المطمئنة]
Itulah jiwa yang tenang karena iman, amal soleh, dan ketaatan kepada Rabnya.
Allah berfirman,
الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. ar-Ra’du: 28)
Allah juga berfirman,
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ . ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (QS. al-Fajr: 27-28).
Kedua, nafsu lawwamah [النفس اللوّامة]
Kata laama – yaluumu [لام – يلوم] secara bahasa artinya mencela. Laaim [لائم] artinya orang yang mencela. Jika dia suka mencela disebut lawwam [لوّام].
Disebut nafsu lawwamah karena nafsu ini sering mencela orangnya disebabkan ia telah melakukan kesalahan, baik dosa besar, dosa kecil, atau meninggalkan perintah, baik yang sifatnya wajib atau anjuran.
Allah bersumpah dengan menyebut nafsu jenis ini dalam al-Quran,
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Aku bersumpah dengan menyebut nafsu lawwamah.” (QS. al-Qiyamah: 2)
Ketiga, Nafsu ammarah bis su’u [النفس الأمارة بالسوء]
Itulah nafsu yang selalu mengajak pemiliknya untuk berbuat dosa, melakukan yang haram dan memotivasi pemiliknya untuk melakukan perbuatan hina.
Allah sebutkan jenis nafsu ini dalam surat Yusuf,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53).
Tiga keadaan di atas, tergantung dari suasana jiwa. Artinya, jiwa manusia bisa menjadi muthmainnah, dalam sekejap dia juga bisa berubah menjadi lawwamah, dan juga bisa langsung berubah menjadi ammarah bis suu’.
Sebagian ulama membuat perumpamaan tentang interaksi nafsu ini. Diantaranya perumpamaan yang disampaikan Imam al-Ajurri – Ahli hadis dan sejarah dari Baghdad wafat: 360 H –
Dalam kitabnya ‘Adabun Nufus’, beliau mengatakan,
وأنا أمثل لك مثالا لا يخفى عليك أمرها إن شاء الله
Saya akan sampaikan permisalan untuk anda, insyaaAllah masalah nafsu tidak lagi samar bagi anda.
Kemudian beliau mulai menjelaskan,
اعلم أن النفس مثلها كمثل المهر الحسن من الخيل ، إذا نظر إليه الناظر أعجبه حسنه وبهاؤه ، فيقول أهل البصيرة به : لا ينتفع بهذا حتى يراض رياضة حسنة ، ويؤدب أدبا حسنا ، فحينئذ ينتفع به ، فيصلح للطلب والهرب ، ويحمد راكبه عواقب تأديبه ورياضته. فإن لم يؤدب لم ينتفع بحسنه ولا ببهائه ، ولا يحمد راكبه عواقبه عند الحاجة
Pahamilah bahwa nafsu itu seperti anak kuda jantan (colt) yang sangat bagus. Setiap kali ada orang yang melihatnya, pasti terkagum dengan keindahan dan bagusnya. Hingga seorang ahli kuda berkomentar,
‘Kuda bagus ini tidak berarti sama sekali sampai dia dilatih dan diajari dengan baik. Barulah setelah itu dia bisa dimanfaatkan dengan baik, sehingga bisa dipakai untuk menyerang atau berlari kencang. Dan yang menunggang akan merasa puas dari hasil latihannya. Jika tidak dilatih dengan baik, maka keindahannya sama sekali tidak akan memberikan manfaat, dan penunggangnya tidak akan merasa puas ketika menggunakannya.
Beliau melanjutkan,
فإن قيل صاحب هذا المهر قول أهل النصيحة والبصيرة به ، علم أن هذا قول صحيح فدفعه إلى رائض فراضه . ثم لا يصلح أن يكون الرائض إلا عالما بالرياضة ، معه صبر على ما معه من علم الرياضة ، فإن كان معه بالرياضة ونصحه انتفع به صاحبه ، فإن كان الرائض لا معرفة معه بالرياضة ، ولا علم بأدب الخيل ، أفسد هذا المهر وأتعب نفسه ، ولم يحمد راكبه عواقبه
Jika pemilik anak kuda ini memberikan perawatan dengan semangat baik dan paham keadaan, lalu dia serahkan ke orang yang ahli dalam merawat, dan dia tidak memilih perawat kecuali orang yang memiliki kemampuan dalam merawat dan kesabaran, lalu kuda itu dirawat dengan baik, maka akan bermanfaat bagi pemiliknya. Namun jika perawat tidak memiliki pengetahuan dalam merawat, tidak paham tentang mengajari kuda, maka dia akan merusak anak kuda itu dan justru membuat lelah dirinya. Sehingga tidak ada komentar baik orang yang menunggangnya.
وإن كان الرائض معه معرفة الرياضة والأدب للخيل إلا أنه مع معرفته لم يصبر على مشقة الرياضة ، وأحب الترفيه لنفسه ، وتوانى عما وجب عليه ، من النصيحة في الرياضة ، أفسد هذا المهر ، وأساء إليه ، ولم يصلح للطلب ، ولا للهرب
Ketika yang merawat memahami teknik merawat dan melatih kuda, hanya saja dia kurang sabar dalam menghadapi kesulitan ketika melatih kuda, sukanya hanya bermain, dan suka menunda-nunda apa yang menjadi tugas dalam melatih kuda, maka justru akan merusak anak kuda ini, sehingga nantinya tidak bisa digunakan untuk menyerang atau berlari kencang. (Adab an-Nufus, hlm. 15)
Demikian, Allahu a’lam

Makna Laa Ilaaha Illallaah

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Kalimat ini ringkas, namun menjadi titik sengketa antara umat islam dengan kaum musyrikin. Kalimat yang menjadi pemisah antara islam dan kesyirikan. Kalimat yang hanya terdiri dari 3 huruf: alif, lam, dan ha, namun mengubah suasana dunia.
Sebelum mengkaji tinjauan makna kalimat ini, kami hendak menegaskan bahwa orang musyrikin yang menjadi musuh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam paham akan makna kalimat laa ilaaha illallah.
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah, beliau mengajak masyarakat Quraisy dan sekitarnya untuk mengikrarkan kalimatLaa ilaaha illalaah..
Dari Rabi’ah bin Ibad ad-Daili, beliau menceritakan,
Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangku di pasar Dzil Majaz, sambil mendakwahkan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، تُفْلِحُوا
Wahai sekalian manusia, ucapkanlah Laa ilaaha illallah, kalian akan mendapat kesuksesan. (HR. Ahmad 16023, Ibnu Hibban 6562 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Kita bisa perhatikan, bagaimana respon masyarakat terhadap ajakan beliau?
Mereka rela berpisah dengan keluarganya, anaknya, istrinya demi memusuhi kalimat ini.
Mereka rela keluar tenaga, demi menghalau tersebarnya kalimat ini.
Bahkan mereka siap untuk berkorban nyawa, demi melawan kalimat tauhid ini.
Kita tahu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang dikenal sangat baik, sebelum jadi nabi dan setelah jadi nabi. Namun mengapa ajakan beliau ditentang habis-habisan oleh mereka.
Apa susahnya bagi mereka untuk hanya mengucapkan laa ilaaha illallah?.
Namun mereka lebih memilih pertumpahan darah dari pada harus mengucapkan kalimat tauhid itu. Dengan kompak mereka menuduh ajakan Nabi Muhammad sebagai ajakan yang aneh,
أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
Apakah Muhammad hendak menjadikan tuhan yang beraneka ragam itu menjadi satu tuhan saja. Sungguh ini ajakan yang sangat aneh. (QS. Shad: 5)
Ini semua menunjukkan bahwa orang musyrikin quraisy paham akan makna kalimat itu. Mereka juga paham akan konsekuensi ketika orang mengucapkan kalimat itu. Mereka sadar, kalimat ini sangat bertentangan dengan keyakinan mereka. Karena itulah, keyakinan mereka menjadi indikator untuk memahami makna kalimat tauhid ini.

Orang Musyrikin Mekah Beriman Akan Keberadaan Allah

Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang musyrikin Mekah, mereka mengenal Allah. Mereka mengimani keberadaan Allah. Bahkan mereka juga mengimani bahwa Allahlah yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini.
Kita bisa lihat, ayah Nabi Muhammad, namanya Abdullah. Dari mana mereka tahu nama itu, padahal Nabi Muhammad belum diutus? Tentu saja jawabannya, karena orang jahiliyah telah mengenal Allah.
Al-Quran juga menceritakan aqidah dan keyakinan mereka tentang Allah. Diantaranya, Allah berfiirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنْ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنْ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنْ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. (QS. Yunus: 31)
Kemudian di surat al-Mukminun secara berturut-turut di banyak ayat, Allah menceritakan aqidah mereka,
قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ . سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” . Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?”
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ . سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?”
قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ . سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?”
Allah juga menyebutkan bahwa mereka mendekatkan diri kepada sesembahan itu, agar doa dan keinginan mereka lebih cepat dikabulkan oleh Allah.
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai wali (sasaran pemujaan), mereka mengatakan, “Tidaklah kami beribadah kepada mereka, selain agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah lebih dekat lagi.” (QS. az-Zumar: 3).
Tentu saja masih banyak dalil yang menyebutkan masalah ini, dan beberapa ayat di atas kita anggap sudah mencukupi.
Dari sini kita memahami bahwa orang musyrikin Quraisy meyakini,
Allah itu ada
Allah Maha Kuasa
Allah yang menciptakan, yang memiliki, dan yang mengatur alam semesta beserta isinya.
Dan mereka memberikan pemujaan kepada selain Allah, agar yang dipuja itu mengantarkan doa mereka kepada Allah.

Makna ‘Laa ilaaha illallaah’ yang Salah

Dengan bermodal pemahaman di atas, kita bisa mengoreksi kesalahan yang diyakini sebagian masyarakat terkait makna kalimat laa ilaaha illallah. Banyak kita dengar, mereka memaknai kalimat ini dengan,
Tidak ada yang berkuasa selain Allah,
Tidak ada wujud yang haqiqi selain Allah,
Tidak ada pengatur alam semesta selain Allah,
Tidak ada penguasa abadi selain Allah.
Kita semua sepakat kalimat-kalimat ini benar. Namun ketika kalimat ini diyakini sebagai makna laa ilaaha illallah, jelas ini kesalahan. Karena konsekuensi pemaknaan ini bertentangan dengan aqidah orang musyrikin Quraisy.
Jika makna laa ilaaha illallah adalah Tidak ada yang berkuasa selain Allah, Tidak ada wujud yang haqiqi selain Allah, Tidak ada pengatur alam semesta selain Allah, Tidak ada penguasa abadi selain Allah, anda bisa pastikan orang musyrikin Quraisy akan setuju dengan ajakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ini sesuai dengan apa yang diyakini masyarakat jahiliyah.
Untuk mengajak mereka agar mengakui tiada  penguasa abadi selain Allah, tiada  pengatur alam semesta selain Allah, tidak perlu sampai harus terjadi pertumpahan darah.

Konsekuensi dari Kesalahan Memahami Laa ilaaha illallah

Ketika kesalahan ini hanya berada dalam tataran wacana, mungkin masalahnya lebih ringan. Karena yang menyedihkan, beberapa pelaku perbuatan kesyirikan dari zaman ke zaman, menjadikan kesalahan ini sebagai alasan pembenar untuk perbuatan mereka.
Banyak pemuja kubur, pelaku perdukunan dan klenik, sampai pecandu kejawen, mereka kekeuh menolak untuk disebut melakukan kesyirikan, karena mereka masih meyakini bahwa yang kuasa hanyalah Allah. Selama kami meyakini bahwa hanya Allah yang mengatur alam semesta, yang memberi rizki hanya Allah, yang menciptakan dan menghidupkan hanya Allah, maka kami masih berpegang dengan Laa ilaaha illallah.
Anda buktikan ini dengan mewawancarai para pemuja kuburan, pasien dukun, bahkan dukunnya sendiri, para pemuja kuburan, termasuk mereka yang menjalani lelakon untuk mendapatkan kanuragan. KTPnya muslim, dan mereka menganggap dirinya masih muslim, selama mereka masih mengakui Allah itu ada dan masih mengucapkan Laa ilaaha illallah.
Subhanallah…
Andai mereka berada di zaman Nabi, mungkin semua sahabat akan menyebutnya orang munafik. Beda yang diucap dengan apa yang diperbuat. Mengaku muslim, tapi perbuatannya tidak berbeda dengan  orang musyrik.

Makna Laa Ilaaha Illallah yang Benar

Menyadari realita di atas, semata mengucapkan laa ilaaha illallah tanpa mengamalkan konsekuensinya, tidak memberikan pengaruh apapun. Karena kalimat tauhid tidak hanya untuk diucapkan. Namun sejauh mana kita bisa mengamalkan. Karena itu, orang yang mendapatkan jaminan surga dengan laa ilaaha illallah, adalah mereka yang memahami makna dan konsekuensinya serta menerapkannya dalam hidupnya.
Dari Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui bahwa sesungguhnya tiada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah maka akan masuk Surga”. (HR. Muslim 145)
Mari kita simak penjelasan singkat makna kalimat tauhid yang mulia ini,
Laa Ilaaha Illallah tersusun dari 3 huruf: [ا – ل – ه], dan terdiri dari 4 kata: Laa, Ilaha, illa dan Allah [لا اله الا الله].
Kita bisa uraikan sebagai berikut:
Pertamakata Laa
Disebut laa nafiyah lil jins (huruf lam yang berfungsi meniadakan keberadaan semua jenis kata benda setelahnya). Misalnya kata: “Laaraiba fiih” (tidak ada keraguan apapu bentuknya di dalamnya). Artinya meniadakan semua jenis keraguan dalam al-Quran.
Sehingga laa dalam kalimat tauhid bermakna meniadakan semua jenis ilaah, dengan bentuk apapun dan siapapun dia.
Kedua, kata Ilah
Kata ini merupakan bentuk mashdar (kata dasar), turunan dari kata: aliha – ya’lahu [ألـه – يألـه] yang artinya beribadah. Sementara katailaahun [إلـه] merupakan isim masdar yang bermakna maf’ul (obyek), sehingga artinya sesembahan atau sesuatu yang menjadi sasaran ibadah.
Jika kita gabungkan dengan kata laa, menjadi laa ilaaha [لا إلـه], maka artinya tidak ada sesembahan atau sesuatu yang menjadi sasaran ibadah, apapun bentuknya.
Ketiga, kata Illa
Ilaa artinya kecuali. Disebut dengan huruf istitsna’ (pengecualian) yang bertugas untuk mengeluarkan kata yang terletak setelah illa darihukum yang telah dinafikan oleh laa.
Sebagai contoh,  ‘Laa rajula fil Masjid illa Muhammad’,
Tidak ada lelaki apapun di masjid, selain Muhammad. Kata Muhammad dikeluarkan dari hukum sebelum illa yaitu peniadaan semua jenis laki-laki di masjid.
Keempat, kata Allah
Dialah Sang Tuhan, dikenal oleh makhluk melalui fitrah mereka. Karena Dia Pencipta mereka.
Sebagian ahli bahasa mengatakan, nama Allah [الله] berasal dari kata al-Ilah [الإلـه]. Hamzahnya dihilangkan untuk mempermudah membacanya, lalu huruf lam yang pertama diidhgamkan pada lam yang kedua sehingga menjadi satu lam yang ditasydid, lalu lam yang kedua dibaca tebal. Sehingga dibaca Allah. Demikian pendapat ahli bahasa Sibawaih.
Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan maknanya,
الله وحده هو المعبود المألوه الذي لا يستحق العبادة سواه
“Allah Dialah al-Ma’bud (yang diibadahi), al-Ma’luh (yang disembah). Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia”. (Madarij as-Salikin, 3/144).
Dari keterangan di atas, ulama menyebutkan rukun kalimat laa ilaaha illallaah ada 2 (at-Tauhid li anNasyiin, hlm. 30):
Pertamaan-Nafyu (peniadaan)
Rukun ini diwakili kalimat laa ilaaha. Makna rukun ini, bahwa orang yang mengikrarkan laa ilaaha illallah harus mengingkari semua bentuk sesembahan dan sasaran ibadah apapun bentuknya. Baik dia manusia, benda mati, orang soleh, nabi, maupun Malaikat. Tidak ada yang berhak untuk dijadikan sasaran ibadah. Ketika seseorang beraqidah ateis, berarti dia tidak mengakui penggalan pertama kalimat tauhid:laa ilaaha.
Kedua, al-Itsbat (penetapan)
Rukun ini mewakili kalimat illallaah. Artinya, orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah harus mengakui satu-satunya yang berhak dijadikan sasaran beribadah adalah Allah. Sehingga dia harus beribadah kepada Allah. Dan ketika dia tidak mau beribadah, berarti dia belum mengakui Allah sebagai tuhannya.
Dua rukun inilah yang Allah tegaskan dalam al-Quran,
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
Siapa yang ingkar terhadap thagut, dan beriman kepada Allah, berarti dia berpegang dengan tali yang kuat (QS. al-Baqarah: 256).
Makna kata Thaghut: segala sesembahan selain Allah
Dan arti kata tali yang kuat adalah laa ilaaha illallah
Sehingga makna ayat, siapa yang menginkari semua bentuk sesembahan dan hanya mengakui Allah sebagai sasaran peribadatannya, berarti dia telah mengikrarkan laa ilaaha illallah dengan benar.
Allah juga tegaskan di ayat yang lain,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”. (QS. An-Nisa: 36)
Kita bisa lihat penolakan orang kafir terhadap dakwah Laa ilaaha illallah,
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ . وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آَلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Sesungguhnya mereka apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” maka mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: Apakah kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami hanya karena seorang penyair gila?”. (QS. Ash-Shoffat : 35-36)
Ketika ada orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah namun dia masih rajin berbuat syirik, mengagungkan kuburan, gandrung dengan perdukunan, aktif sedekah bumi, larung di laut, berarti perbuatannya bertentangan dengan apa yang dia ikrarkan. Karena dia mempertuhankan selain Allah, meskipun hanya dengan satu ibadah.
Dan kita patut memahami, ibadah itu beraneka ragam. Tidak hanya berbentuk sujud atau shalat. Contoh ibadah yang sering diberikan kepada makhluk adalah memberikan sesajian, seperti sedekah bumi, larung kepala hewan, tanam kepala hewan di jembatan, dst.
Demikian pula berdoa. Banyak orang yang gandrung dengan kuburan, mereka berbondong-bondong ke kuburan ketika mereka merasa punya hajat. Jika tidak ada kepentingan, mereka tidak datang ke kuburan. Ini semua indikasi kuat bahwa mereka hendak menyampaikan doa di kuburan. Jika itu ditujukan kepada penghuni kubur, berarti itu penyembahan kepada selain Allah.
Meskipun mereka shalat, mereka puasa, bahkan haji, namun ketika mereka memberikan satu peribadatan saja kepada selain Allah, berarti amal mereka menyimpang dari kalimat tauhid.

Mengucapkan Laa ilaaha illallah Tapi Tidak Beramal

Ini kebalikan dari yang pertama. Penyakit kedua yang dialami sebagian masyarakat, ada yang beralasan dengan laa ilaaha illallah namun dia sama sekali tidak pernah beramal. Tidak shalat, tidak puasa, tidak peduli dengan agamanya. Ketika diingatkan, dia beralasan, yang penting saya masih punya laa ilaaha illallah.
Kasus semacam ini pernah terjadi di zaman ulama Tabiin Wahb bin Munabbih (w. 114 H). Ada seseorang yang bertanya kepada beliau,
“Bukankah laa ilaaha illallah adalah kunci surga.”
Maksud orang ini, yang penting orang sudah mengucapkan laa ilaaha illallah, dia terjamin masuk surga, sekalipun dia tidak beramal.
Kemudian dijawab oleh Imam Wahb bin Munabih,
بلى ولكن ليس من مفتاح إلا له أسنان فإن أتيت بمفتاح له أسنان فتح لك وإلا لم يفتح
“Benar, laa ilaaha illallah adalah kunci surga. Namun bukankah setiap kunci harus punya gigi. Jika kamu membawa kunci yang ada giginya, dibukakan surga untukmu, jika tidak ada giginya, tidak dibukakan surga untukmu.” (HR. Bukhari secara Muallaq sebelum hadis no. 1237 dan disebutkan Abu Nuaim secara Maushul dalam al-Hilyah 4/66).
Agar laa ilaaha illallah diterima, anda harus beramal.

Arti yang Tidak Tepat

Kita sering mendengar orang mengartikan, laa ilaaha illallah dengan tiada tuhan selain Allah. Mungkin pemaknaan ini perlu diluruskan.
Ketika kita mendengar ungkapan, tiada roti kecuali enak, berarti semua roti enak. Seperti itu pula kalimat
“Tiada Tuhan selain Allah”. Konsekuensi terburuknya, berarti setiap yang disembah oleh manusia, itulah Allah. Maha suci Allah dari yang demikian.
Karena itulah, para ahli bahasa meluruskan bahwa laa nafiyah lil jins pada kalimat laa ilaaha illallah butuh khabar (predikat). Pada kalimatlaa ilaaha [لا إلـه], kata ilaah sebagai isim laa, sementara khabar laa (predikatnya) mahdzuf (tidak dimunculkan), yang jika dinyatakan berwujud kata haqqun [حَقٌّ]. Sehingga jika kita baca lengkap menjadi: laa ilaaha haqqun illallaah, yang artinya Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. (At Tanbihaat Al Mukhtasharah, Ibrahim al-Khuraishi)
Di sekitar kita banyak tuhan. Semua yang disembah oleh orang kafir, itulah tuhan mereka. Namun semua itu tidak berhak disembah. Satu-satunya yang berhak disembah hanya Allah.
Makna seperti ini yang diajarkan dalam al-Quran,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ
“Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil” (QS. al-Hajj : 62)
Allahu a’lam
Sumber: konsultasisyariah.com

Baca Juga :
Ternyata Tumbuhan Bertasbih Kepada Allah
Wanita Muslim Yang Ikut Merubah Sejarah Dan Menjadi Inspirasi Dunia
Adab Bertamu Dan Menerima Tamu Dalam Islam
5 Fitrah Pada Manusia
Kisah Sahabat Nabi Muawiyah bin Haidah RA

Wednesday, 23 January 2019

Mengajari Anak Mencintai Pemerintah Muslim

Terkadang secara tak sadar, orang tua menanamkan kepada anak rasa ketidakpuasan terhadap penguasa negerinya. Lewat obrolan dengan orang lain, meluncur ungkapan-ungkapan celaan bahkan hujatan terhadap sang penguasa. Tampaknya hanya sekadar curhat. Namun, tanpa disangka, sepasang telinga kecil menangkap pembicaraan itu, lalu menghunjam di sanubarinya.

Berbekal opini dari orang tuanya terhadap penguasanya yang dipandang penuh kekurangan, tumbuhlah dia sebagai pemuda yang tidak puas dan benci dengan pemerintahnya. Tinggallah orang tua yang terhenyak, saat suatu hari nama anaknya tercatat sebagai anggota teroris. Wal ‘iyadzu billah….
Kita tentu tak pernah berharap hal itu terjadi pada diri kita dan anak-anak kita. Bahkan kita mohon perlindungan kepada Allah ‘azza wa jalla agar dijauhkan dari itu semua.
Selain doa yang kita panjatkan, tentu ada upaya yang harus ditempuh oleh orang tua dalam membimbing anaknya. Kita harus mengetahui bimbingan syariat dalam hal ini. Sembari memohon pertolongan dan taufik dari Allah ‘azza wa jalla, kita akan menelaah masalah ini melalui kitab Tarbiyatul Aulad fi Dhau’il Kitabi was Sunnah.
Dalam poin pembahasan Tarbiyatuhum ‘ala Mahabbatil ‘Ulama wa Wulatil Amr dijelaskan bahwa di antara hal penting yang harus diperhatikan oleh ayah dan ibu adalah mendidik anak-anak untuk mencintai ulama dan pemimpin negerinya.
Para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan dirham atau dinar, tetapi sematamata mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil ilmu tersebut, berarti dia telah mengambil bagian yang melimpah dari warisan tersebut.
Di samping itu, apabila orang tua menanamkan pada diri anak sikap keraguan terhadap para ulama dan ilmu mereka, tidak menghormati mereka, serta menyebutkan kesalahan-kesalahan mereka di hadapan anak, semua ini akan menimbulkan bahaya besar bagi umat. Sebab, ilmu diambil dari para ulama, begitu juga syariat Islam diambil dari jalan mereka pula. Sikap yang demikian kadangkala akan membawa kehancuran bagi syariat Islam.
Ketika anak tumbuh dewasa kelak, dia akan mencari orang yang akan diambil ilmunya. Dia tidak akan mengambil dari para ulama, karena sudah dibuat ragu terhadap para ulama dan ilmu mereka. Mereka akan mengambil ilmu dari para ulama sesat dan orang-orang yang berpemikiran menyimpang. Akhirnya, anak akan menjadi alat untuk merusak masyarakat.
Adapun ulil amri adalah orang-orang yang menangani segala urusan rakyat, menegakkan syariat, memelihara stabilitas keamanan, serta menjaga persatuan kaum muslimin. Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ
        “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul, dan taatilah ulil amri di antara kalian.” (an-Nisa: 59)
Ulil amri yang dimaksud dalam ayat adalah para ulama dan penguasa. Akan tetapi, sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin di berbagai forum melakukan ghibah dan namimah terhadap penguasa. Mereka menyingkap dan mengungkap kesalahan-kesalahan mereka. Padahal kalau dia mau melihat kekurangan dan kesalahan dirinya sendiri, niscaya lebih banyak daripada kesalahan penguasa yang dia ungkapkan. Cukuplah bagi seseorang mendapatkan dosa jika dia memberitakan semua yang didengarnya.
Amat disayangkan pula, anak-anak duduk di majelis yang semacam ini. Mereka menyerap ucapan seperti ini dan tumbuh dewasa di atas kebencian terhadap para ulama dan penguasanya. Semua ini akan menjadi sebab timbulnya kerusakan, munculnya tuduhan bid’ah atau fasik terhadap ulama dan penguasa tanpa dilandasi ilmu.
Seringkali ucapan yang dinukil tentang ulama dan penguasa tersebut adalah kedustaan dan kebohongan, tanpa ada hujah dan bukti. Itu semata-mata propaganda musuh Islam dan musuh akidah yang murni ini.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah berkata, “Bukan merupakan manhaj salaf, perbuatan menyebarkan aib-aib penguasa dan menyebut-nyebutnya di atas mimbar. Ini akan menyeret pada penentangan serta keengganan untuk mendengar dan menaati penguasa dalam hal yang ma’ruf. Perbuatan tersebut juga akan menyebabkan sikap memberontak yang amat berbahaya dan sama sekali tak ada manfaatnya.
“Jalan yang ditempuh oleh para salaf adalah menasihati penguasa secara empat mata, menulis surat kepada mereka, atau menyampaikannya melalui para ulama yang dapat menyampaikan hal itu kepada penguasa, sehingga ulama tersebut bisa mengarahkan sang penguasa pada kebaikan.” (al-Ma’lum min Wajibil ‘Alaqah bainal Hakim wal Mahkum, hlm. 22)
Manhaj salaf dalam menyikapi kesalahan penguasa adalah tidak mengingkari kemungkaran penguasa secara terbuka, tidak pula menyebarkan kesalahan-kesalahan penguasa di hadapan banyak orang. Sebab tindakan tersebut bisa menyeret pada berbagai hal buruk yang lebih besar, dan berujung pemberontakan kepada penguasa.
Pernah ada yang bertanya kepada Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, “Mengapa Anda tidak menemui Utsman untuk menasihatinya?”
Usamah pun menjawab, “Apakah kalian anggap aku ini harus memperdengarkan kepada kalian jika aku menasihatinya? Sungguh, aku telah menasihatinya empat mata. Aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka (secara terang-terangan, -ed.) suatu perkara!” (Dikeluarkan al-Imam Ahmad dalam al-Musnad, 36/117, 21784, al-Bukhari no. 3267, Muslim no. 2989; dan lafadz ini dalam riwayat Muslim)
Diterangkan oleh al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah, “Yang dimaksud oleh Usamah, beliau tidak ingin membuka pintu mujaharah (terang-terangan) mengingkari penguasa, karena mengkhawatirkan berbagai dampak buruknya. Beliau justru bersikap lemah-lembut dan menasihatinya secara diam-diam.
Sebab, nasihat dengan cara seperti ini lebih layak diterima.” (Dinukil dalam Fathul Bari, 13/67, 7098)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan, “Ada orang-orang yang setiap majelisnya berisi pembicaraan jelek terhadap penguasa, menjatuhkan kehormatan mereka, menyebarkan keburukan dan kesalahan mereka, tanpa memedulikan sama sekali berbagai kebaikan dan kebenaran yang ada pada penguasa tersebut. Tidak diragukan lagi, melakukan cara-cara seperti ini dan menjatuhkan kehormatan penguasa tidak akan menambah apa-apa selain memperberat masalah.
“Cara seperti ini tidak bisa memberikan solusi dan tidak melenyapkan kezaliman. Ia justru hanya menambah musibah bagi suatu negeri, menimbulkan kebencian dan antipati terhadap pemerintah, serta memunculkan keengganan untuk melaksanakan perintah penguasa yang seharusnya wajib ditaati.”
“Tidaklah kita ragukan bahwa terkadang pemerintah melakukan hal-hal yang negatif atau berbuat kesalahan, seperti halnya anak Adam yang lainnya. Setiap anak Adam pasti banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak salah adalah yang banyak bertobat (sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Kita pun tidak menyangsikan bahwa kita tidak boleh mendiamkan seorang pun yang berbuat kesalahan. Semestinya kita menunaikan kewajiban nasihat bagi Allah ‘azza wa jalla, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah muslimin, serta bagi seluruh kaum muslimin sesuai kemampuan kita.”
“Apabila kita melihat kesalahan penguasa, kita sampaikan secara langsung, baik melalui lisan maupun tulisan yang ditujukan kepada mereka (bukan dengan mengumbar aib mereka di hadapan khalayak, di mimbar-mimbar atau media massa), menasihati mereka dengan menempuh jalan yang paling dekat untuk menjelaskan kebenaran kepada mereka dan menerangkan kesalahan mereka. Kemudian kita beri nasihat, kita ingatkan kewajiban mereka agar menunaikan dengan sempurna hak orang-orang yang ada di bawah kekuasaan mereka dan menghentikan kezaliman mereka terhadap rakyatnya.” (Wujubu Tha’atis Sulthan fi Ghairi Ma’shiyatir Rahman, hlm.23—24)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, “Membicarakan aib penguasa adalah perbuatan ghibah dan namimah, di mana keduanya adalah keharaman terbesar setelah syirik. Apalagi jika ghibah atau namimah itu ditujukan pada ulama dan penguasa, ini lebih parah lagi. Sebab, bisa menyeret pada berbagai kerusakan: memecah-belah persatuan, buruk sangka terhadap pemerintah, dan menumbuhkan pesimisme serta keputusasaan pada diri rakyat.” (al-Ajwibah al-Mufidah ‘an As’ilatil Manahijil Jadidah, hlm. 60)
Tentang masalah ini, para ulama Ahlus Sunnah—baik yang terdahulu maupun sekarang—berdalil dengan hadits-hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:
  1. Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampernah bersabda,
        مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa melihat pada penguasanya sesuatu yang dia benci, hendaknya dia bersabar. Sebab, orang yang memisahkan diri dari jamaah (penguasa) satu jengkal saja lalu dia mati, matinya seperti mati orang jahiliah.”[1]
  1. Dari ‘Iyadh bin Ghunm radhiallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي السُّلْطَانِ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، فَلْيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَإِنْ سَمِعَ مِنْهُ فَذَلِكَ، وَإِ كَانَ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
Barang siapa ingin menasihati penguasa, janganlah dia sampaikan secara terbuka. Hendaknya dia gamit tangan penguasa itu (untuk menasihatinya secara diam-diam). Jika penguasa itu mau mendengar (nasihatnya –pen.), itulah yang diharapkan. Jika tidak, dia telah menunaikan kewajibannya.”[2]
  1. Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
نَهَانَا كُبَرَاؤُنَا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ، قَالُوا :قَالَ رَسُولُ اللهِ: لاَ تَسُبُّوا أُمَرَاءَكُمْ، وَ تَغُشُّوهُمْ، وَ تُبْغِضُوهُمْ، وَاتَّقُوا اللهَ، وَاصْبِرُوا فَإِنَّ الْأَمْرَ قَرِيبٌ
“Dahulu kami dilarang oleh para tokoh kami dari kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jangan kalian mencela penguasa kalian, jangan mengkhianati mereka, dan jangan pula membenci mereka. Bertakwalah kalian kepada Allah dan bersabarlah, karena urusannya dekat’.”[3]
  1. Dari Ziyad al-‘Ad i , beliau menceritakan, “Aku pernah bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu ‘Amir yang saat itu sedang berkhutbah sembari mengenakan pakaian sutra.
Abu Bilal berkata, ‘Coba kalian lihat pimpinan kita, dia mengenakan pakaian orang-orang fasik!’
Abu Bakrah pun menyahut, ‘Diam! Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللهُ
Barang siapa menghinakan penguasa Allah di dunia, niscaya Allah akan hinakan dia.”[4]
Demikian ini adalah pengajaran dari Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya yang harus dipahami dan diamalkan oleh setiap hamba, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk ditanamkan kepada anak-anaknya.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
(Diterjemahkan dari kitab Tarbiyatul Aulad fi Dhau’il Kitabi was Sunnah, karya ‘Abdus Salam bin ‘Abdillah as-Sulaiman, hlm.39—42, oleh Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
[1] HR. al-Imam Ahmad (4/290)(2487), al-Imam al-Bukhari (7053,7143), dan al-Imam Muslim (1849)(55).
[2] HR. al-Imam Ahmad (24/48-49)(15333) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (2/507)(1096).
[3] HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (2/474)(1015) dan al-Baihaqi dalam al-Jami’ li Syu’abil Iman (10/27) (7117).
[4] HR. al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (34/79)(20433), at-Tirmidzi (2224) dan lafadz ini dalam riwayat beliau. Beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib.